Kisah dari Beranda Hati -A (Kind Of) Never Ending Story-
Seorang teman meletakkan buku
miliknya di depan kamarku hari itu. Pada halaman depannya terselip sticky notes,
“Mengapa cinta sejati lebih sulit ditemukan daripada jarum di tumpukan jerami?,
jawabannya ada dalam buku ini”, kurang lebih demikianlah kalimatnya. Akupun
lupa dan kertasnya sudah hilang entah
kemana dalam pusaran rak buku yang mulai sesak (oleh laporan dan
kertas-kertas), sedikit lagi sepertinya minta diganti. Aku membutuhkan waktu
sebulan untuk benar-benar leluasa lalu menghabiskan buku itu dan menemukan
jawabannya: “Karena jarum itu tak bergerak, namun perasaan manusia bergerak”.
Lembaran buku tulisan Andrea Hirata, penulis favoritku itu sempat membuatku tertegun
beberapa saat dan hingga titik ini masih terbayang-bayang.
Saban hari perbincangan tentang hal
sakral yang disebut cinta itu selalu menjadi trending topic antara aku
dan teman-temanku. Entah pada pesanWhatsApp, DM Instagram, kala
nongkrong sambil menulis laporan atau sekedar me-review pelajaran, disela-sela
praktikum yang memusingkan, dan diantara
celotehan kala makan siang porsi kuli setelah praktikum yang meresahkan,
kalimat “pengen punya doi” ataupun “mau nikah aja” selalu terselip dan hampir
selalu menjadi inti pembahasan. Semakin kesini, sosok tak terjamah bernama
jodoh itu semakin dinanti dan semakin membuat penasaran. Akan tetapi, sekalipun
hati terkadang meronta-ronta, untungnya logika masih bisa difungsikan
sebagaimana adanya agar tidak meletakkan hati pada yang bukan tempatnya. Keinginan
bertemu jodoh secara aneh berbanding lurus dengan kecenderungan berhati-hati
dan menutup diri. Demikian diagnosisku kepada kami, para mahasiswi semester
tengah yang bergelut dengan Quarter Life Crysis. Selain itu, ada
beberapa dari kami yang menderita komplikasi yang cukup fatal : Insecurity,
Anxiety, dan Trust Issue.
Ironisnya, aku menderita seluruh
kondisi menyedihkan itu pada tahap kronis. Selain itu, sekaitan dengan kalimat pada buku tadi, aku
merasa perasaanku bergerak. Tak pernah benar-benar singgah pada sosok
bergonosom XY setelah sekian lama. Kalau terkadang kalian menemukan snap
instagram ataupun whatsapp yang terkesan bucin, percayalah itu hanya dibuat
tanpa latar belakang yang jelas, tanpa objek, dan sekalipun terkesan manis, aku
menulisnya dengan perasaan hambar yang dibubuhi sedikit imajinasi semu dari
diri yang kesepian. Terakhir kali hatiku berlabuh selama 3 tahun pada sosok
yang kata lirik lagu indie, sempat dikira rumah. Sayangnya aku mendepak diri
sendiri dari sana pada akhir tahun 2018, setelah kutahu bahwa ada sosok lain
yang masuk dan merusak rumahku. Setelah
itu, fisikku malas bergerak, tapi hatiku yang babak belur sibuk kesana-kemari
mencari ganti. Secara menyedihkan, patah hati membuat berat badanku naik
drastis, berbanding terbalik dengan derajat kesehatan mental yang berada di
titik mengharukan. Lalu hadirlah kesepian yang berupaya kututupi dengan
perasaan-perasaan spesial tentang sosok-sosok baru yang berbunga sesaat
kemudian mati tak kurang dari sebulan.
Akhir-akhir ini hatiku memilih
tak kemana-mana, tinggal saja pada tempatnya, berusaha meyembuhkan diri dan
memahami manusia yang lebih dari dua dekade memakainya. Ibarat pelajar yang
hendak ujian, kami sedang berada di masa tenang. Akan tetapi masa tenang hatiku
terusik oleh sosok yang hari itu tiba-tiba
mengetuk pintunya dengan puisi Mahmoud Darwish yang entah ditulisnya untuk
siapa, dan kemungkinan besar bukan untukku.
Sosok itu tak pernah benar-benar kubiarkan masuk. Kubiarkan dia di beranda, lalu sesuai pesan dari kata-kata
yang tersebar bagai cacar di sosial media, “ dia hanya singgah, harusnya kau
suguhkan kopi bukan hati”, maka aku membawakannya kopi dan membiarkannya duduk
sebentar, menyesapnya disana. Sesekali aku meninggalkan beberapa tulisan untuk
dibaca oleh matanya yang teduh.
Sosok itu hadir setiap tahun,
sejak kami berkenalan sembilan tahun lalu. Saraf vestibulokoklear-ku pertama
kali mengabarkan tentangnya kala suara asing
namun menenangkan miliknya lamat-lamat mengalun dari masjid dekat rumah, memecah semilir angin
pagi yang kerap membuaiku untuk terlelap. Anehnya, demi mendengar gelombang
audiosonik itu, aku untuk pertama kalinya dalam hidup menjadi tepat waktu ke masjid
untuk sholat subuh. Aku bahkan telah hadir di masjid mendahului kyai padahal
biasanya aku menjadi anggota tetap (bahkan salah-satu pejabat) persatuan makmum
masbuk. Setelah sholat subuh, sosok itu
memperkenalkan namanya dalam majelis. Aku
menyimak penjelasannya dengan terkantuk-kantuk. Aku yang kala itu masih
menjelang baligh tak menyadari bahwa sosok itu akan punya tempat tersendiri di
hati, bahkan setelah nyaris satu dekade.
Tahun kedua setelah berkenalan,
dia datang ke rumah di kala Ramadhan, kami bertegur sapa sesaat. Tahun ketiga,
kami bertemu di salah-satu acara besar, bertegur sapa dan berbincang cukup
lama. Tahun keempat, kami bertemu di masjid pada salah-satu kegiatan, aku
menunggu ayah yang terlibat dalam kegiatan itu di beranda masjid, dia turut hadir,
kami bertegur sapa lalu duduk bersebelahan namun berjarak, aku dan dia
sama-sama diam seribu bahasa. Tahun kelima, kami bertemu di suatu kegiatan,
lalu bertegur sapa sesaat, hari itu outfit kami matching dengan tema
oranye-hitam yang entah maknanya apa. Tahun keenam, kami dua kali bertemu,
pertama kala tatapanku dan tatapannya bertemu di masjid tempat kami berkenalan
(aku merasa berdosa disini). Kedua, di suatu kegiatan kemah santri, kami
bertegur sapa sesaat. Tahun ketujuh, kami bertemu secara online di instagram,
lalu berbagi cerita tentang mimpi dan masa depan. Tahun kedelapan, dia
menyapaku melalui DM, bertanya tentang tanaman Dicranopteris linearis
yang kerap terabaikan namun menurut informasi darinya dapat digunakan sebagai
pena kaligrafi. Tahun kesembilan, tahun ini, dia hadir dengan dua quotes
Andrea Hirata, dan satu puisi Mahmoud Darwish yang entah ditujukan untuk siapa
namun hatiku terpanggil untuk membiarkannya singgah sejenak. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, dia akan betah disana beberapa hari, lalu bekas
hadirnya tak hilang hingga berbulan-bulan, lalu lenyap entah kemana, beriring
dengan kesibukan dan realita yang menyergap. Lihatlah betapa banyak kata bertegur sapa disana, karena nyatanya, pertemuan kami didominasi sebatas sapa, tak pernah banyak melibatkan kata. Semesta pun seolah turut diam bersama pertemuan yang tak banyak suara.
Dia tak pernah benar-benar masuk,
namun hatiku senang sekali menjamunya, bahkan ada kursi khusus untuk sosoknya
disana, lalu bekas duduknya menumbuhkan perdu yang berbunga, merambat ke
jendela, dan kadang tanpa sadar kaca jendelanya pecah lalu kuncup-kuncup bunga
perlahan semerbak dalam ruang hati yang tak bertuan. Pada kondisi itu, aku
sudah siap siaga menyemprotkan herbisida paling ampuh terdiri dari campuran
rasa insecure, tahu diri, introspeksi, dan pengingat betapa sosok itu
terlalu sempurna untukku. Namun racun tanaman sialan itu kadang kurang efektif,
tahun ini perdu itu tumbuh lebat dalam ruangan kosong dan berdebu, aku dengan
segenap tenaga berusaha memotong dan mencabutinya satu per satu. Duri-durinya
adalah segenap ketidakmungkinan, perlahan menusuk hati yang pelan-pelan
berdarah namun tak kunjung tahu diri untuk berdamai dengan tuannya. Hatiku
dengan tak tahu adat menyediakan pupuk yang sangat bagus bagi perdu-perdu tak
beradab itu untuk tumbuh. Selain memotong, aku sebisa mungkin menakar dosis
auksin untuk kusemprotkan serta inhibitor buatan berupa pengalihan pikiran agar
tanaman perasaan itu tak berbunga dan mati disana, seperti perasaan-perasaan
sebelumnya.
Kenyataan bahwa aku dan dia punya
beberapa kesamaan (entah memang sama atau disama-samakan oleh perasaanku yang
sepihak) memperparah keadaan. Kami menyukai seni dan sastra, mengagumi hal-hal
monokromatis, juga sedikit sifat idealis dan perfeksionis. Aku juga sedikit
paham sosok itu menyukai kopi, jahe, dan lemon dari beberapa percakapan yang
kami habiskan di beranda kala itu. Hingga kini, selama sembilan tahun, dia
menjadi kisah yang tak pernah benar-benar usai, segala sesuatu tentangnya tetap
meninggalkan teka-teki. Lalu galau pelan-pelan melingkupi, aku ingin tahu
tentangnya lebih banyak lagi, namun tak berani. Dia begitu tenang hingga tak
mampu kubaca, dia begitu indah hingga segan tanganku meraihnya, dia begitu
memesona higga tak cukup kata-kara untuk melukiskannya. Oh iya, kami lahir di
bulan yang sama. Tiga hari yang lalu sosok itu memasuki tahun baru-nya. Lalu fakta
bahwa sosok itu sudah cukup banyak menyendiri dalam relung masa, mengirim
sinyal pada radarku bahwa sebentar lagi, dia ‘kan menemukan rumahnya, atau mungkin
sudah ada tanpa kuketahui sebelumnya. Hari dimana sosok itu kelak tak menemuiku
di beranda lagi, adalah hari dimana
cerita (yang kurangkai sendiri) diantara kami benar-benar usai, aku merasa hari itu semakin dekat, dan aku harus
bersiap agar tak ada sakit yang tersisa. Aku tahu aku akan bahagia dan lega
setelahnya, karena akhirnya tak perlu menunggunya dan menyuguhkan kopi baginya
setiap tahun, pun tak lagi harus berperang dengan perdu berbunga yang merekah
dari jejaknya. Akan tetapi, setiap perubahan dan pelepasan, bahkan untuk
hal-hal yang tak sempat kita miliki, bahkan untuk sebatas ekspektasi yang
setengah mati dikubur agar tak menjadi-jadi, akan selalu meninggalkan bekas
luka yang pedih.
Kembali pada kalimah yang
mengawali tulisan ini, “hati manusia itu bergerak”, dan secara ironis hatiku bergerak memutar
lalu menepi di tempat yang sama dimana sosok itu dapat dengan mudah mengetuk
dan menyapa. Setelah itu, aku akan terhanyut lagi dalam segenap usaha untuk
berhenti dan lupa. Maka dalam pada itu, aku menulis dan meluapkan segala
tentangnya disini. Kemungkinan segenap rasa itu akan menguap atau menguat
bersama huruf-hurufnya, akupun tak bisa memprediksi. Tapi setidaknya, segenap
resahku tentangnya dapat tertuang manis dalam rapal kata sehingga tak begitu
membebani hati dan raga. Kala hatiku
lebih leluasa, sekalipun rasa tentangnya merekah, namun akan lebih mudah bagiku
untuk mencintai dengan semestinya dan sewajarnya. Sehingga kala sosok itu
menemukan rumahnya, aku akan dengan ikhlas merayakan akhir kisah ini dan bersuka
cita. Dia sosok yang baik, yang akan dipertemukan dengan orang baik (sayangnya,
aku masih belajar untuk baik), kemudian darinya akan lahir dan terbentuk lebih
banyak sosok-sosok baik, yang kelak melukis dunia dengan warna-warni paling
baik, lalu kelak membangun surga sebagai
tempat berpulang terbaik.
-Fii-
Ditulis pada suatu
malam yang penuh kerisauan,
berteman beban pikiran akan rasa dan masa depan,
Yogyakarta, 8 September 2021
Komentar
Posting Komentar