Memories of PKPA (Chapter 1)

Tentang gambar: selama PKPA, salah-satu bentuk healing paling berguna bagi manusia 
dengan benih-benih OCD adalah menyusun obat

“Kamu udah pernah marah ga atas kejadian-kejadian itu?”, tanya perempuan itu dengan suara lembut. Sebut saja dia Kak Farah, bukan nama asli tapi cukup untuk mewakili kepribadiannya yang periang dalam ceritaku kali ini. Dalam bahasa Arab, Farah dapat diartikan sebagai kebahagiaan. Kak Farah adalah psikolog yang beberapa bulan terakhir menjadi manusia yang menampung sisi gelap yang tak banyak kutunjukkan akhir-akhir ini.

“Marah gimana maksudnya, kak?”, tanyaku.

“Maksudnya kamu mengekspresikan rasa tidak nyaman itu, entah teriak, nangis, atau ngomong ke orangnya mungkin?”, ujar Kak Farah.

“Nope, it’s not my type. Aku kalau marah meledak-ledak, suara aku jadi melengking, dan aku ga suka banget sama suara melengking apalagi kalau itu suara aku sendiri, I hate myself being angry kak”, ujarku.

“Okay, kalau gitu kamu tahu ga kalau marah itu ga harus meledak-ledak?, bisa loh kamu ekspresikan amarah lewat gambar, atau media lain, seingetku kamu pernah bilang seneng nulis”, ujar beliau.

“Seneng kak, tapi akhir-akhir ini aku ga nulis lagi”, jawabku.

“Kamu mau nyoba nulis hal-hal yang bikin kamu ga nyaman itu ga?”, tanya beliau.

Dari percakapan pagi itu aku sudah membidik hari-hari yang memungkinkan bagiku untuk menulis lagi.  Ada banyak kesempatan sebenarnya, namun entah kenapa aku jarang sekali memberi ruang untuk diri sendiri akhir-akhir ini. Aku memilih melupakan hal-hal yang tidak nyaman dengan menghabiskan waktu bersama orang-orang, berharap lukanya dapat sembuh, berharap pikiranku jernih dan tenang kembali, rupanya pada saat-saat tertentu, bahkan selalu, teman terbaik adalah diri kita sendiri. Melalui tulisan ini aku ingin meminta maaf kepada diriku yang selama ini kuabaikan luka dan lelahnya, yang akhirnya memilih mencari validasi manusia lain tanpa memvalidasi dirinya sendiri. Fiyah, we messed up again, but it is totally fine, you’ve been doing amazing, thank you for trying your best.

Aku akan memulai menulis perasaan-perasaan dan cerita-cerita yang sepertinya butuh dibaca dan didengarkan, yang enak dan manis akan dibagi, yang pahit-pahit biar ditelan dan jadi obat untuk diri sendiri. Cerita-cerita ini adalah beberapa potongan-potongan kehidupan apoteker muda yang mungkin akan dibaca lagi nanti setelah menjadi apoteker senior, penuh wibawa, sholehah, mendunia, kaya raya, dengan kontribusi, publikasi, juga aset dimana-mana dan tentunya rajin sedekah, aamiin. Doakan yah heheh. Terima kasih sudah membaca cerita Fiyah dari yang belum jadi apa-apa sampai nanti Inshaa Allah menjadi sosok yang inspiratif dan luar biasa. Selamat membaca!

INTRO TO PKPA…

PKPA atau Praktek Kerja Profesi Apoteker adalah semacam kegiatan magang yang menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk meraih gelar apoteker. PKPA dilakukan pada beberapa instansi yang merupakan ranah kerja apoteker seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Pedagang Besar Farmasi, Industri Farmasi, dan tentu saja Apotek. Bagiku PKPA adalah hal menakutkan nomor dua setelah KKN. Masa PKPA bagaikan masa transisi dari kehidupan akademik di kamus menuju kehidupan praktisi yang berbaur dengan aspek-aspek yang menyangkut kefarmasian di masyarakat. Pembagian waktu dan instansi PKPA dari kampus jatuh pada hari ulang tahunku, hari yang mendebarkan dan menjadi awal yang menentukan alur kehidupan selama setahun kedepan. Hari itu kami dikumpulkan di ruangan kelas, dimulai dari pembekalan selama beberapa menit lalu dilanjutkan dengan penampilan file excel berisi daftar nama mahasiswa dan lokasi penempatan praktek yang disambut dengan riuh-rendah satu ruangan. Takut tapi excited, demikian perasaanku kala membaca jadwal praktekku hari itu. Aku tidak menyangka bahwa jadwal yang kutatap hari itu akan membawa banyak sekali perubahan dan pengalaman dalam hidup.

Setelah silih berganti tempat praktek dan berupa-rupa stase, masa PKPA-ku berakhir pada awal bulan Mei lalu. Setelahnya aku kembali ke kehidupan kampus yang rupanya menjadi begitu berbeda setelah ditinggalkan sekian lama. Beberapa kali aku bertukar cerita dengan teman-teman tentang kehidupan praktek masing-masing dan menemukan fakta yang membuatku agak iri dan overthinking dari cerita-cerita mereka yang sudah belajar banyak tentang kefarmasian di tempat praktek mereka masing-masing.

“Ih di tempatku kemarin kita diajar ini loh”

“Aku baru paham materi X setelah PKPA di Y tahu!”

“Aku kemarin diajar ini sama preseptor!”.

Serta beberapa kalimat serupa. Aku tak banyak bercerita karena aku merasa belum belajar banyak. Selama PKPA aku sibuk menyesuaikan diri dengan ritme hidup yang berubah-ubah, memaksa diri untuk bersosialisasi, dan berdamai dengan realita. Jadwal PKPA yang berubah dengan cepat terasa sangat tidak cocok denganku yang terbiasa hidup dalam rutinitas kampus, belum lagi bertemu dengan orang-orang baru, dengan pola pikir dan sistem kerja yang baru dan tentunya berbeda dari satu tempat PKPA ke tempat PKPA lain. Sialnya lagi, berbagai masalah hidup datang dan cukup menjadi distraksi bagi otakku yang sudah penuh dengan hectic-nya jadwal praktek. Belum lagi trauma yang belum selesai dan beberapa kondisi di tempat PKPA yang menjadi trigger  bagi trauma itu untuk muncul kembali (belakangan aku baru tahu kalau aku punya trauma setelah berkonsultasi dengan psikolog perihal kondisi mentalku yang cukup meresahkan khususnya selama praktek di industri yang mengharuskanku hidup sendiri di tempat baru dengan berbagai kondisi yang memancing trauma itu untuk muncul kembali, mungkin akan kuceritakan perihal trauma ini lain waktu).

“Orang-orang belajar banyak tentang kefarmasian, mengumpulkan koneksi dan teman-teman baru, sementara aku belajar mengumpulkan kewarasan”, gumamku setiap kali orang-orang bercerita tentang semaraknya praktek kerja mereka.

Aku beberapa kali mengutuki betapa jeleknya pengalaman PKPA-ku, menyalahkan orang lain, menyalahkan jadwalku yang tak sesuai ekspektasi, menyalahkan manusia kurang ajar pemicu trauma di masa lalu yang baru muncul setelah sekian lama itu, menyalahkan manusia-manusia menyebalkan yang harus kutemui selama praktek, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan ini dan itu. Tapi setelah dipikir-pikir, mau sampai kapan dan apa yang kudapatkan dari segala bentuk menyalahkan itu?. Aku dengan segenap benih-benih OCD dan sikap perfeksionis yang meresahkan akhirnya sampai pada titik dimana aku tersadar bahwa beberapa hal memang tak dapat diubah sesuai keinginanku, mau seberapa tantrum pun aku menyikapinya. Aku kemudian teringat dengan pesan dosen pembimbingku pada hari dimana aku menyelesaikan sidang skripsi setahun lalu; “terkadang Allah menempatkan kita pada suatu proses, karena Allah tahu kita membutuhkan pelajaran dan pengalaman dari proses itu”. Dalam konteks ini, mungkin PKPA-ku tak hanya sebatas pembelajaran kefarmasian, tetapi juga perjalanan menuju pendewasaan dan penerimaan. Maka akan kurangkai kembali cerita-cerita dari tempat PKPA yang masih tersisa di memori, untuk disyukuri dan diapresiasi.

The First PKPA Location; PBF (Pedagang Besar Farmasi)

Lokasi PKPA pertamaku adalah sebuah PBF atau Pedagang Besar Farmasi. Singkatnya, PBF adalah distributor yang menyalurkan kebutuhan seperti obat-obatan, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, perlengkapan toiletris, skincare dan kebutuhan lain terkait kesehatan dari industri farmasi ke sarana pelayanan kesehatan seperti apotek, puskesmas, hingga rumah sakit. Tidak banyak yang dapat kuceritakan tentang PBF karena  aku tidak begitu tertarik dengan bidang kerja distribusi obat dan perbekalan kesehatan, tapi bukan berarti aku tidak belajar banyak. Preseptor kami yang merupakan apoteker penanggung jawab PBF merupakan sosok yang sangat menyenangkan dan terbuka dengan diskusi dan pertanyaan.

Secara regulasi, PBF membutuhkan setidaknya satu apoteker sebagai apoteker penanggung jawab. Di PBF, apoteker berperan penting dalam pemastian mutu obat-obatan dan perbekalan farmasi lainnya sejak penerimaan dari industri ataupun distributor lain, hingga penyalurannya ke sarana pelayanan kesehatan. Intinya, obat adalah barang sensitif sehingga segala kegiatan menyangkut obat-obatan dari produksi hingga dikonsumsi oleh pasien perlu diberikan treatment khusus, termasuk dalam proses distribusinya. Cakupan pekerjaan apoteker di PBF mencakup perencaan barang-barang yang akan dipesan, pengadaan barang, penerimaan, pengembalian barang yang rusak maupun kadaluwarsa, memilah dan memilih supplier obat, melakukan koordinasi terkait kegiatan operasional di PBF, mengatur rancangan lokasi, suhu, serta alur kegiatan operasional, melakukan pelaporan terkait obat-obatan yang didistribusikan ke BPOM maupun kemenkes, serta pekerjaan-pekerjaan lain termasuk berusaha untuk tetap tenang saat ada inspeksi mendadak dan juga memfasilitasi mahasiswa profesi apoteker yang tengah melakukan praktek kerja. Terdengar pusing bukan? Tentu saja. Aku menatap ruang kerja apoteker dengan segala macam dokumen, file-file berupa daftar dalam bentuk tabel, sticky notes, komputer yang menyala dari pagi hingga sore sembari membayangkan betapa melelahkan dan meresahkannya tugas dan tanggung jawab apoteker dalam distribusi obat. Belum lagi harus menghadapi gudang berisi kardus-kardus obat yang bertumpuk-tumpuk dan menjulang tinggi yang terlihat mendebarkan dan menyesakkan.

Cerita menarik dari PBF tempat PKPA-ku adalah PBF tersebut awalnya merupakan apotek yang digagas, dibangun, dan dikembangkan oleh ibu-ibu anggota ‘Aisyah (salah-satu ortom Muhammadiyah) yang tergerak untuk memfasilitasi masyarakat di bidang kesehatan melalui apotek, membuka lapangan kerja, serta mengembangkan bisnis kefarmasian yang dikelola oleh umat Islam. Yes, you read it right, it established by ibu-ibu, by women. Seiring berjalannya waktu, apotek tersebut menjadi sangat ramai dan berkembang menjadi apotek panel yang menjadi suplier obat-obatan bagi apotek lain, hingga akhirnya dikembangkan menjadi distributor obat atau PBF.

“Kami memulai bisnis ini dengan 20 juta yang kami kumpulkan dari kantong-kantong kami sendiri, juga ibu-ibu pengajian saat itu, sementara syarat bagi kami untuk membuka apotek adalah 50 juta, maka kami berusaha agar memperoleh dana yang cukup melalui donasi, penggalangan dana, serta usaha-usaha lain. Alhamdulillah dari puluhan juta itu kami saat ini bisa tembus sampai milyaran rupiah. Kalau niat kita baik untuk menolong agama Allah, maka akan selalu ada jalan, Allah akan selalu menolong kita”, ujar salah-satu pendiri PBF dalam diskusi kami sore itu.

Mengetahui cerita asal-usul PBF itu, aku menjadi sangat takjub saat melihat betapa ramainya pesanan obat dari berbagai apotek, klinik, dan rumah sakit yang keluar-masuk PBF. Bisnis yang luar biasa, yang menjadi penyedia obat dan alat kesehatan bagi berbagai faskes yang tersebar di  Yogykarta hingga Jawa Tengah, awalnya digagas dan dikembangkan oleh sekelompok perempuan muslimah. Di PBF, selain belajar tentang alur distribusi obat dan mengenal berbagai produk obat dan alat kesehatan yang belum banyak kulihat secara nyata, aku belajar tentang ajaibnya perempuan; makhluk tuhan dengan gonosom XX selalu memiliki bakat istimewa untuk mengubah hal-hal biasa menjadi luar biasa. Jika tangan laki-laki diciptakan untuk membangun peradaban, maka tangan perempuan diciptakan untuk membesarkan peradaban.

***

To be continued.

Ditulis dengan berbagai pikiran yang menganggu tentang ujian kompetensi, masa depan, dan perasaan.

Yogyakarta, 1 Muharram 1446 H

Komentar

Postingan Populer