Memories of PKPA (Chapter 1)
“Marah gimana maksudnya, kak?”,
tanyaku.
“Maksudnya kamu mengekspresikan
rasa tidak nyaman itu, entah teriak, nangis, atau ngomong ke orangnya mungkin?”,
ujar Kak Farah.
“Nope, it’s not my type. Aku kalau
marah meledak-ledak, suara aku jadi melengking, dan aku ga suka banget sama
suara melengking apalagi kalau itu suara aku sendiri, I hate myself being angry
kak”, ujarku.
“Okay, kalau gitu kamu tahu ga
kalau marah itu ga harus meledak-ledak?, bisa loh kamu ekspresikan amarah lewat
gambar, atau media lain, seingetku kamu pernah bilang seneng nulis”, ujar
beliau.
“Seneng kak, tapi akhir-akhir
ini aku ga nulis lagi”, jawabku.
“Kamu mau nyoba nulis hal-hal yang
bikin kamu ga nyaman itu ga?”, tanya beliau.
Dari percakapan pagi itu aku
sudah membidik hari-hari yang memungkinkan bagiku untuk menulis lagi. Ada banyak kesempatan sebenarnya, namun entah
kenapa aku jarang sekali memberi ruang untuk diri sendiri akhir-akhir ini. Aku
memilih melupakan hal-hal yang tidak nyaman dengan menghabiskan waktu bersama
orang-orang, berharap lukanya dapat sembuh, berharap pikiranku jernih dan
tenang kembali, rupanya pada saat-saat tertentu, bahkan selalu, teman terbaik
adalah diri kita sendiri. Melalui tulisan ini aku ingin meminta maaf kepada
diriku yang selama ini kuabaikan luka dan lelahnya, yang akhirnya memilih
mencari validasi manusia lain tanpa memvalidasi dirinya sendiri. Fiyah, we
messed up again, but it is totally fine, you’ve been doing amazing, thank you
for trying your best.
Aku akan memulai menulis perasaan-perasaan
dan cerita-cerita yang sepertinya butuh dibaca dan didengarkan, yang enak dan
manis akan dibagi, yang pahit-pahit biar ditelan dan jadi obat untuk diri
sendiri. Cerita-cerita ini adalah beberapa potongan-potongan kehidupan apoteker
muda yang mungkin akan dibaca lagi nanti setelah menjadi apoteker senior, penuh
wibawa, sholehah, mendunia, kaya raya, dengan kontribusi, publikasi, juga aset
dimana-mana dan tentunya rajin sedekah, aamiin. Doakan yah heheh. Terima kasih
sudah membaca cerita Fiyah dari yang belum jadi apa-apa sampai nanti Inshaa
Allah menjadi sosok yang inspiratif dan luar biasa. Selamat membaca!
INTRO TO PKPA…
PKPA atau Praktek Kerja Profesi
Apoteker adalah semacam kegiatan magang yang menjadi kewajiban bagi mahasiswa
untuk meraih gelar apoteker. PKPA dilakukan pada beberapa instansi yang merupakan
ranah kerja apoteker seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Pedagang Besar Farmasi,
Industri Farmasi, dan tentu saja Apotek. Bagiku PKPA adalah hal menakutkan
nomor dua setelah KKN. Masa PKPA bagaikan masa transisi dari kehidupan akademik
di kamus menuju kehidupan praktisi yang berbaur dengan aspek-aspek yang
menyangkut kefarmasian di masyarakat. Pembagian waktu dan instansi PKPA dari
kampus jatuh pada hari ulang tahunku, hari yang mendebarkan dan menjadi awal yang
menentukan alur kehidupan selama setahun kedepan. Hari itu kami dikumpulkan di
ruangan kelas, dimulai dari pembekalan selama beberapa menit lalu dilanjutkan
dengan penampilan file excel berisi daftar nama mahasiswa dan lokasi
penempatan praktek yang disambut dengan riuh-rendah satu ruangan. Takut tapi excited,
demikian perasaanku kala membaca jadwal praktekku hari itu. Aku tidak menyangka
bahwa jadwal yang kutatap hari itu akan membawa banyak sekali perubahan dan
pengalaman dalam hidup.
Setelah silih berganti tempat
praktek dan berupa-rupa stase, masa PKPA-ku berakhir pada awal bulan Mei lalu. Setelahnya
aku kembali ke kehidupan kampus yang rupanya menjadi begitu berbeda setelah
ditinggalkan sekian lama. Beberapa kali aku bertukar cerita dengan teman-teman
tentang kehidupan praktek masing-masing dan menemukan fakta yang membuatku agak
iri dan overthinking dari cerita-cerita mereka yang sudah belajar banyak
tentang kefarmasian di tempat praktek mereka masing-masing.
“Ih di tempatku kemarin kita
diajar ini loh”
“Aku baru paham materi X setelah
PKPA di Y tahu!”
“Aku kemarin diajar ini sama
preseptor!”.
Serta beberapa kalimat serupa.
Aku tak banyak bercerita karena aku merasa belum belajar banyak. Selama PKPA
aku sibuk menyesuaikan diri dengan ritme hidup yang berubah-ubah, memaksa diri
untuk bersosialisasi, dan berdamai dengan realita. Jadwal PKPA yang berubah
dengan cepat terasa sangat tidak cocok denganku yang terbiasa hidup dalam
rutinitas kampus, belum lagi bertemu dengan orang-orang baru, dengan pola pikir
dan sistem kerja yang baru dan tentunya berbeda dari satu tempat PKPA ke tempat
PKPA lain. Sialnya lagi, berbagai masalah hidup datang dan cukup menjadi
distraksi bagi otakku yang sudah penuh dengan hectic-nya jadwal praktek. Belum
lagi trauma yang belum selesai dan beberapa kondisi di tempat PKPA yang menjadi
trigger bagi trauma itu untuk
muncul kembali (belakangan aku baru tahu kalau aku punya trauma setelah
berkonsultasi dengan psikolog perihal kondisi mentalku yang cukup meresahkan
khususnya selama praktek di industri yang mengharuskanku hidup sendiri di
tempat baru dengan berbagai kondisi yang memancing trauma itu untuk muncul
kembali, mungkin akan kuceritakan perihal trauma ini lain waktu).
“Orang-orang belajar
banyak tentang kefarmasian, mengumpulkan koneksi dan teman-teman baru, sementara
aku belajar mengumpulkan kewarasan”, gumamku setiap kali orang-orang bercerita
tentang semaraknya praktek kerja mereka.
Aku beberapa kali mengutuki betapa
jeleknya pengalaman PKPA-ku, menyalahkan orang lain, menyalahkan jadwalku yang
tak sesuai ekspektasi, menyalahkan manusia kurang ajar pemicu trauma di masa
lalu yang baru muncul setelah sekian lama itu, menyalahkan manusia-manusia
menyebalkan yang harus kutemui selama praktek, menyalahkan diri sendiri,
menyalahkan ini dan itu. Tapi setelah dipikir-pikir, mau sampai kapan dan apa
yang kudapatkan dari segala bentuk menyalahkan itu?. Aku dengan segenap benih-benih
OCD dan sikap perfeksionis yang meresahkan akhirnya sampai pada titik
dimana aku tersadar bahwa beberapa hal memang tak dapat diubah sesuai
keinginanku, mau seberapa tantrum pun aku menyikapinya. Aku kemudian teringat
dengan pesan dosen pembimbingku pada hari dimana aku menyelesaikan sidang
skripsi setahun lalu; “terkadang Allah menempatkan kita pada suatu proses,
karena Allah tahu kita membutuhkan pelajaran dan pengalaman dari proses itu”. Dalam
konteks ini, mungkin PKPA-ku tak hanya sebatas pembelajaran kefarmasian, tetapi
juga perjalanan menuju pendewasaan dan penerimaan. Maka akan kurangkai kembali
cerita-cerita dari tempat PKPA yang masih tersisa di memori, untuk disyukuri
dan diapresiasi.
The First PKPA Location; PBF (Pedagang Besar Farmasi)
Lokasi PKPA
pertamaku adalah sebuah PBF atau Pedagang Besar Farmasi. Singkatnya, PBF adalah
distributor yang menyalurkan kebutuhan seperti obat-obatan, alat kesehatan, bahan
medis habis pakai, perlengkapan toiletris, skincare dan kebutuhan lain
terkait kesehatan dari industri farmasi ke sarana pelayanan kesehatan seperti
apotek, puskesmas, hingga rumah sakit. Tidak banyak yang dapat kuceritakan
tentang PBF karena aku tidak begitu tertarik
dengan bidang kerja distribusi obat dan perbekalan kesehatan, tapi bukan
berarti aku tidak belajar banyak. Preseptor kami yang merupakan apoteker penanggung
jawab PBF merupakan sosok yang sangat menyenangkan dan terbuka dengan diskusi
dan pertanyaan.
Secara regulasi,
PBF membutuhkan setidaknya satu apoteker sebagai apoteker penanggung jawab. Di
PBF, apoteker berperan penting dalam pemastian mutu obat-obatan dan perbekalan
farmasi lainnya sejak penerimaan dari industri ataupun distributor lain, hingga
penyalurannya ke sarana pelayanan kesehatan. Intinya, obat adalah barang
sensitif sehingga segala kegiatan menyangkut obat-obatan dari produksi hingga
dikonsumsi oleh pasien perlu diberikan treatment khusus, termasuk dalam proses
distribusinya. Cakupan pekerjaan apoteker di PBF mencakup perencaan
barang-barang yang akan dipesan, pengadaan barang, penerimaan, pengembalian
barang yang rusak maupun kadaluwarsa, memilah dan memilih supplier obat,
melakukan koordinasi terkait kegiatan operasional di PBF, mengatur rancangan lokasi,
suhu, serta alur kegiatan operasional, melakukan pelaporan terkait obat-obatan
yang didistribusikan ke BPOM maupun kemenkes, serta pekerjaan-pekerjaan lain
termasuk berusaha untuk tetap tenang saat ada inspeksi mendadak dan juga
memfasilitasi mahasiswa profesi apoteker yang tengah melakukan praktek kerja.
Terdengar pusing bukan? Tentu saja. Aku menatap ruang kerja apoteker dengan
segala macam dokumen, file-file berupa daftar dalam bentuk tabel, sticky notes,
komputer yang menyala dari pagi hingga sore sembari membayangkan betapa melelahkan
dan meresahkannya tugas dan tanggung jawab apoteker dalam distribusi obat.
Belum lagi harus menghadapi gudang berisi kardus-kardus obat yang bertumpuk-tumpuk
dan menjulang tinggi yang terlihat mendebarkan dan menyesakkan.
Cerita menarik
dari PBF tempat PKPA-ku adalah PBF tersebut awalnya merupakan apotek yang digagas,
dibangun, dan dikembangkan oleh ibu-ibu anggota ‘Aisyah (salah-satu ortom
Muhammadiyah) yang tergerak untuk memfasilitasi masyarakat di bidang kesehatan
melalui apotek, membuka lapangan kerja, serta mengembangkan bisnis kefarmasian
yang dikelola oleh umat Islam. Yes, you read it right, it established by
ibu-ibu, by women. Seiring berjalannya waktu, apotek tersebut menjadi
sangat ramai dan berkembang menjadi apotek panel yang menjadi suplier
obat-obatan bagi apotek lain, hingga akhirnya dikembangkan menjadi distributor
obat atau PBF.
“Kami memulai
bisnis ini dengan 20 juta yang kami kumpulkan dari kantong-kantong kami
sendiri, juga ibu-ibu pengajian saat itu, sementara syarat bagi kami untuk
membuka apotek adalah 50 juta, maka kami berusaha agar memperoleh dana yang
cukup melalui donasi, penggalangan dana, serta usaha-usaha lain. Alhamdulillah dari
puluhan juta itu kami saat ini bisa tembus sampai milyaran rupiah. Kalau niat
kita baik untuk menolong agama Allah, maka akan selalu ada jalan, Allah akan
selalu menolong kita”, ujar salah-satu pendiri PBF dalam diskusi kami sore itu.
Mengetahui cerita
asal-usul PBF itu, aku menjadi sangat takjub saat melihat betapa ramainya
pesanan obat dari berbagai apotek, klinik, dan rumah sakit yang keluar-masuk PBF.
Bisnis yang luar biasa, yang menjadi penyedia obat dan alat kesehatan bagi berbagai
faskes yang tersebar di Yogykarta hingga
Jawa Tengah, awalnya digagas dan dikembangkan oleh sekelompok perempuan
muslimah. Di PBF, selain belajar tentang alur distribusi obat dan mengenal
berbagai produk obat dan alat kesehatan yang belum banyak kulihat secara nyata,
aku belajar tentang ajaibnya perempuan; makhluk tuhan dengan gonosom XX selalu
memiliki bakat istimewa untuk mengubah hal-hal biasa menjadi luar biasa. Jika tangan
laki-laki diciptakan untuk membangun peradaban, maka tangan perempuan
diciptakan untuk membesarkan peradaban.
***
To be continued.
Ditulis dengan berbagai
pikiran yang menganggu tentang ujian kompetensi, masa depan, dan perasaan.
Yogyakarta, 1 Muharram
1446 H
Komentar
Posting Komentar