“Yogyakarta, Lebih dari Sekedar Pelarian”
...”Sekalipun pelarian bukan berarti tak ‘kan ada keseriusan, karena jika itu tak istimewa, tak ada gunanya menorehnya dalam tulisan. Bukankah tak menutup kemungkinan dalam pelarian, pengembara terkadang menemukan rumah dan bahagia, lantas lupa pulang karena sudah nyaman?”...
-Fii-
18 Juli 2019,
dari jendela pesawat, kutitip salam perpisahan pada bumi Makasar. Hari itu aku
merasa seperti pecundang, kukepalkan tangan kuat-kuat, mencegah air mata yang bisa
saja menyeruak tanpa kuduga. Nyaris seminggu, mataku sembab menangisi lebih
dari 20 penolakan yang dikirimkan kepadaku dalam berbagai format oleh puluhan universitas
dan satu jurusan impian. Hari itu, mimpi demi mimpi yang telah kurecanankan
bertahun-tahun hancur berserakan. Aku bertolak ke pulau seberang, pada kota
yang selalu kusimpan pada posisi terakhir dalam daftar tempat untuk menuntut
ilmu; Yogyakarta. Aneh memang, mengingat kota itu adalah pusat pendidikan,
pusat budaya dan kesenian. Tak terhitung pelajar dari berbagai sudut Indonesia
mengimpikan kota itu. Aku sedikit berbeda, sejak duduk di Madrasah Aliyah,
prinsipku hanyalah “Kalau tidak di Unhas, mentok di UINAM, kalau tidak bisa
keduanya, Inshaa Allah negara lain”.
Tahu-tahu tak ada dari ketiganya yang mampu kugapai. Pada nyaris 8000
detik perjalanan penuh lara, kutatap angkasa raya, berusaha bercerita padanya.
Aku berjanji, seluruh kenangan buruk, impian, kecewa, gagal, bahkan rasa yang
belum tersampaikan, kutinggalkan dan kusimpan di kota Makasar. Kota itu tak ada
lagi urusannya denganku selain sebatas persinggahan. Aku pun tak punya banyak
bayangan tentang tempat baru yang akan menyambutku. Kusebut ia pelampiasan dan
pelarian dari kenyataan. Hatiku bahkan tak pernah benar-benar ingin kesana.
Setelah puas mengenang kegalauan, dalam hati aku berdoa agar pesawatku jatuh ke
laut, tak ada yang selamat, aku tak perlu berpikir lagi tentang masa depan dan
cibiran orang-orang.
Doaku tak pernah terkabul karena jelas-jelas aku meminta mudhorat bagi
manusia-manusia yang tak ada sangkut-pautnya dengan masalahku dalam burung besi
itu. Aku tiba di Jogja, tak butuh waktu lama bagiku untuk jatuh hati padanya.
Dalam tiga bulan, aku sudah dibuat nyaman. Tak terhitung hal-hal baik yang
menyapa di bumi-Nya yang istimewa itu. Tiga jam setelah tiba di Jogja, aku
berbelanja dengan sepupuku yang telah lebih dahulu berpetualang di kota itu. Di
sebuah swalayan, aku menemukan roti import dari Turki, yang tiba-tiba
mengingatkanku tentang mimpi lama untuk berkunjung ke negeri dua benua itu.
Saat itu aku merasa, Jogja telah menyambutku dengan isyarat baik, bahwa Tuhan
menakdirkanku kesana sebagai kesempatan untuk membangun diri, memperbaiki, menata
masa depan, dan berjuang kembali.
Pada
awalnya, Jogja terasa demikian asing. Namun dalam keterasingan itu, setiap
orang dapat menjadi dirinya sendiri, mengembangkan pandangannya beribu kali
lebih luas dibanding asalnya. Jogja demikian jauh dari pengaruh buruk di kota kecil dimana aku
bertumbuh, sehingga disana tak dapat kudengar cibiran, hujatan, dan berupa-rupa
kalimat manusia yang tak menyadari betapa ketajamannya mampu membunuh seseorang,
setidaknya secara perlahan-lahan. Aku berhenti membandingkan diri dengan anak
tetangga, dengan anak Pak A, Bu B, dan si C dengan seluruh pencapaian mereka
yang menjadi penyebab utama insecurity dan overthinking. Aku
bersyukur pada Dzat penentu takdir yang membawaku pada lingkungan yang jauh
dari persaingan tidak sehat, tak ada makhluk toxic yang kecanduan
melakukan research dan studi komparatif antar pencapaian satu manusia
dengan manusa lain. Bahkan Tuhan menghadirkan begitu banyak orang baik, yang
sekalipun banyak yang terkesan cuek, bodoamat, tidak peduli, namun setidaknya
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh, berkembang, dan “menemukan
diri sendiri”.
Hanya
beberapa bulan begitu banyak sudut pandangku yang berubah. Sejak kecil aku
selalu berada di posisi teratas, tidak heran jika aku tumbuh menjadi sosok
egois yang tak ingin disaingi, iri melihat orang lain lebih tinggi, selalu
membutuhkan apresiasi, menganggap hidup hanya sebatas persaingan, dan begitu
takut dengan kegagalan. Di Jogja, aku perlahan belajar bahwa gagal bukan
sesuatu yang harus ditakutkan. Pada suatu pertemuan, seorang dosen pernah
bertutur, “Habiskan kegagalan di masa muda, supaya di masa tua nanti, hanya
keberhasilan yang dinikmati”, satu kalimat itu tersimpan dengan rapi, sekalipun
cukup lama bagiku untuk mampu benar-benar memahami. Sekarang, prinsip itu
berusaha kulakoni. Aku mulai meyakini bahwa hidup bukan persaingan, toh jika
memang persaingan, maka yang harus disaingi adalah diri kita sendiri. Yang
disebut pencapaian rupanya tak terbatas pada menjadi yang tertinggi, berada di
atas orang lain. Pencapaian adalah ketika hari ini, kita berada setingkat lebih
tinggi dari kita yang kemarin. Sebaik-baik apresiasi juga bukan dari orang
lain, namun dari diri sendiri dan Dzat yang menciptanya.
Jogja
juga lebih humanis, mengajarkan untuk menghargai dan memahami perbedaan. Kota
itu ramah dan menerima semua orang, tak peduli sekelam apa masa lalunya,
se-ambyar apa hatinya, se-jelek apa perilakunya. Aku berteman dengan
orang-orang dari berbagai tempat, berbagi cerita dan rahasia, belajar banyak
hal dari mereka. Rupanya tak hanya aku saja yang datang ke Jogja untuk
melupakan. Sekalipun kebanyakan murni ingin mencari pengalaman, dan belajar
mandiri. Selebihnya ada yang terbuang, terdampar, kesasar, hingga yang menua di
jogja sejak masih berbentuk segumpal darah. Aku bertemu dengan banyak orang;
profesor cemerlang lulusan luar negeri, dosen kampus ternama, kakak tingkat
yang prestasinya luar biasa, petugas kebersihan yang tak kenal lelah, penjaga keamanan yang tiap pagi menyapa,
penjaga toko yang ramah, driver kendaraan online yang santun dan sangat
membantu, ibu kost yang pengertian, dan banyak lagi manusia-manusia hebat yang
membuatku merasa ‘diterima’. Disini, untuk pertama kali aku melihat ratusan
manusia (termasuk aku) bertepuk tangan untuk mengapresiasi petugas kebersihan
tak bergelar, dan kejadian itu diinisiasi oleh sosok dengan gelar Ph.D di
belakang namanya. Selanjutnya, bentuk penghormatan seperti itu, menjadi
pemandangan yang lumrah kulihat dan memberi rasa sejuk ke hati. Aku menarik
kesimpulan, bahwa pendidikan, setinggi apapun itu, tidak ada gunanya jika kita tak
mampu memanusiakan manusia. Gelar, sepanjang apapun itu, sia-sia jika ada
secuil rasa sombong dan menganggap orang lain berada di bawah kita. Sejujurnya,
akupun masih berusaha keras menjalankan kesimpulanku ini
Di
Jogja, bahagia tak harus mewah, sambat dan nongkrong di burjo, angkringan, warteg,
dan warung-warung rakyat yang tumbuh subur di setiap sudut kota bersama
seperjuangan setelah hari yang melelahkan sudah cukup istimewa. Berkumpul di
kost teman bercerita tentang hidup, berangan tentang masa depan, sambil rebutan
makanan sederhana yang dipesan dengan promo sudah cukup mengurangi sakit yang
enggan untuk diceritakan kepada dunia. Ke
Malioboro naik trans jogja yang murah meriah hanya untuk duduk dan memotret
senja, sudah lebih dari cukup untuk mengobati lelah dalam mengejar asa. Hal
yang paling kurindukan saat mengetik kalimat ini, adalah duduk di emperan toko,
menikmati es krim duaribuan menatap jalan yang hiruk pikuk dengan kendaraan,
bersama sobat-sobat yang ambyar, mengeluh dan halu beramai-ramai. Jogja
mengajarkan kami untuk sederhana.
Jogja
rupanya seistimewa yang disebut orang.”Jogja terbuat dari rindu, pulang , dan
angkringan”, kalimat itu benar adanya. Selain hal baik, tentu ada hal-hal buruk
yang kutemui disana. Namun yang buruk itu cukuplah disimpan dan ditinggalkan
jika kelak takdir membawa langkah kaki untuk beranjak pergi. Tulisan ini dibuat
ditengah kegalauan yang tak patut rasanya untuk diceritakan pada khalayak.
Setidaknya, beberapa dari kegalauan itu cukup memberi kesadaran, bahwa Jogja
bukan lagi sebatas pelarian. Mungkin bisa kusebut rumah kedua setelah tanah
kelahiran?. Seorang teman bahkan tak ragu menyebutnya sebagai rumah utama. Ada
rindu untuk Jogja, dan seluruh kebaikan yang ada padanya. Sekalipun aku masih
enggan untuk kembali lagi kesana karena wabah yang akhir-akhir ini menghantui.
Semoga dunia bisa segera pulih, karena ada begitu banyak yang harus meraih dan diraih. Aamiin.
Tana Toraja, 13
Juni 2020.
Saat sedang membaca tulisan ini.. Pikiran ku mengudara ke negeri luar ..mencoba membayangkan segala keindahan dalam tulisan ini .. ku pikir jogja itu di luar negeri.. Ternyata di negaraku sendiri ..ah.. Author memang sangat pandai dalam dalam menulis kisahnya sndiri . ��
BalasHapusYuhuu, masih belajar kak, btw ndak tahu kenapa terhapus ki balasanku yang kemarin2 wkwkw
Hapus