Subuh Sembilan September (A Birthday Reminder)
Subuh sembilan September, duapuluh tahun sebelum kalimat ini ditulis, nun jauh di salah-satu pelosok bumi, seorang wanita muda yang belum menginjak usia tiga puluh terbaring di lantai papan beralas tikar tipis bersimbah keringat dengan perasaan bercampur aduk. Keluarga besar mengelilinginya dengan wajah cemas, namun penuh harap yang tak samar oleh temaram lentera. Putra sulungnya masih menyimpan bekas-bekas tangis ketakutan usai menatap bercak darah pada lantai, sesunggukan dalam dekap sang kakek. Suami si wanita datang beberapa saat kemudian dengan nafas tersenggal, seorang dukun beranak turut bersamanya. Suasana semakin tegang begitu si wanita mulai mengejan.
Menit demi menit berlalu diiringi doa yang terapal tanpa kata.
Setelah sekian kali mencoba, sang bayi tetap kukuh, seolah tak ingin
meninggalkan rahim yang berbulan-bulan menjaganya. Wanita muda itu nyaris
kehabisan nafas, namun tetap gigih mengumpulkan tenaga. Orang-orang yang menyaksikan
bergumam tentang kepala si bayi yang terlalu besar, sang bayi terjepit di gerbang,
butuh waktu yang cukup lama bagi tubuhnya untuk menyapa dunia dengan selamat.
Setelah sang bayi keluar, si wanita harus berjuang kembali seolah mengumpulkan
nyawa untuk mengeluarkan ari-ari yang tertinggal, enggan keluar bersama bayi
berkepala besar. Secara medis, kejadian itu dikenal dengan resistensio
placenta, ada beberapa penanganan medis yang dapat dilakukan untuk menangani
kasus itu, sayangnya, kejadian itu berlangsung di sebuah rumah panggung
ditengah belantara kebun cengkeh yang jauh dari fasilitas medis modern. Sang
wanita, kemudian meniup botol sesuai perintah sang dukun agar ari-arinya
keluar, pipinya mengembang, wajah cantiknya
memerah namun bahagia. Ari-ari keluar, sang wanita tak sadarkan diri selama
beberapa saat.
Setelah siuman, senyum wanita muda itu perlahan merekah menatap
wajah sosok mungil yang gemuk dan sehat. Momen ketika ibu melihat bayinya untuk
pertama kali adalah cinta pada pandang pertama, dan berbeda dengan cinta monyet menjelang baligh yang kebanyakan juga
terjadi dalam sekali pandang, cinta itu tulus tak terkira dan tak lekang masa.
Beberapa hari kemudian, dipilihlah nama terbaik untuk sang bayi. Sang ayah
sempat mengirimkan surat kepada seorang ulama yang hijrah dari pulau seberang
dan menetap di ibukota kecamatan. Suratnya terbalas, bersama istrinya terjadi
diskusi kecil-kecilan, dua sejoli itu akhirnya memilih nama, Alfiah Amaliyah.
Nama yang indah dimana setiap hurufnya adalah rangkaian doa agar bayi itu
tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang memanusiakan manusia.
***
Kurang lebih, demikianlah kisah tentang detik-detik awal dalam
hidupku yang rupanya telah begitu lama. Aku senang mendengarkan kisah itu dari
ibu, nenek, ayah, atau siapapun yang senang hati berkisah. Tentang nama
lengkapku yang cukup anti mainstream itu, aku baru benar-benar memahaminya
setelah belajar di pondok pesantren selama dua pekan. Ulama yang memberi nama
kemudian menjadi Kiyai yang mengasuh pondok tempatku menghabiskan sebagian besar
masa remaja. Hari itu, setelah dua pekan FORTASI (Forum Ta’aruf Santri), Kiyai
masuk ke kelas kami, para santri baru yang berada di ambang pintu menuju masa
baligh yang selain penuh warna, juga penuh godaan fana yang naudzubillah. Aku
mendapat giliran untuk memperkenalkan diri.
“Namamu itu pemberian saya, Alfiah Amaliyah, Alfiy itu bahasa
Arabnya seribu, dan amaliyah, artinya amalan, perbuatan-perbuatan. Maknanya
supaya kau tumbuh menjadi anak dengan amal kebaikan yang buaaaanyak sampai beribu-ribu”, kurang
lebih demikian ujar beliau dengan dialek Sulawesi dicampur logat Jawa yang
khas.
Belakangan aku sering merefleksi namaku sendiri, sepertinya selain
doa, beban juga terangkai pada sebuah nama. Aku tumbuh menjadi manusia pada
umumnya, kebaikanku tak bisa disebut banyak, tak sesuai dengan namaku yang
cantik dan sangat sholehah itu. Nyatanya, enam tahun di pondok kuhabiskan
dengan sejumlah pelanggaran-pelanggaran terselubung yang sekalipun jarang
diketahui oleh pembina aku haqqul yaqin malaikat mencatatnya begitu detail,
belum lagi bumi yang dipijak, dan langit yang menaungi dari kejauhan, mereka
adalah saksi bisu dari dosa manusia yang seakan tak ada habisnya.
Jika memikirkan kembali bagaimana proses kelahiranku, aku kadang
menyimpulkan bahwa sejak awal aku telah memiliki tabiat susah diatur dan kepala
batu, hal itu terbukti dengan kenakalanku yang enggan keluar dengan lancar
layaknya bayi normal dan menyusahkan ibuku hingga sempat pingsan setelahnya. Memang
benar, diantara saudara-saudaraku, juga diantara anak-anak dalam keluarga besar
kami, aku menjadi sosok yang kerap
disebut lain dari yang lain, baik dari segi fisik dan tabiat.
Dari segi fisik seluruh
sepupuku sangat good-looking, sekalipun kebanyakan dari mereka tak akan
lolos kontes kecantikan karena terhalang di tinggi badan yang cukup mainstream.
Aku, sejujurnya, secara objektif jauh dari kata good looking. Aku akui kulitku cukup putih untuk memenuhi
standar cantik negeri ini. Sayangnya, aku kurang glowing, dan terlalu sehat
hingga kulitku memproduksi minyak seperti keluarga yang tak kenal KB
memproduksi anak. Menginjak masa remaja, aku bruntusan, jerawatan sana-sini,
tak begitu parah menurutku namun cukup empuk menjadi sasaran hujatan dan
membawa insecurities dan overthinking bermalam-malam. Hidungku
alhamdulilah sempurna sekalipun bentuknya cukup mengharukan, dan sekali lagi
jadi hujatan. Bibirku penuh dan tebal, cukup menggoda untuk memenuhi standar
cantik negara-negara barat sana, hanya saja gigiku lumayan irregular, dan
karena bentuknya itu, menurut dokter gigi cantik langgananku, kesehatan mulutku
terganggu, beberapa gerahamku harus kurelakan untuk dicabut karenanya. Padahal
aku cukup rajin sikat gigi sehabis makan, mungkin yang menggugurkan gerahamku
satu per satu adalah dosa karena keseringan ghibah dan julid. Dari body
shape, aku terlihat sebagai sasaran empuk iklan peninggi dan pelangsing
badan. Maka untuk kalian wahai netizen yang budiman, sungguh aku sudah mahfum
kondisiku yang begini adanya maka berhentilah banyak komentar karena toh
sekalipun penuh dosa aku tak pernah merugikan kalian dengan penampakan fisik
dan kalian pun tak berminat menyisihkan rezeki untukku agar bisa oplas ataupun
setidaknya facial dan membeli skinker mahal.
Selain fisik, tabiatku juga cukup antimainstream dan sepertinya
cukup menaikkan tensi bagi kedua orang tuaku. Aku terlalu idealis dan
perfeksionis, segala hal harus sesuai dengan ekspektasiku, padahal, dunia tak
selamanya seperti itu. Dalam keluarga besar kami, kebanyakan anak akan
mengikuti orang tua mereka, menjadi guru, penyuluh, ustadz, tak jauh-jauh dari
sana. Aku sedikit melenceng dengan kekeuh meminta untuk berkuliah
jurnalistik dan menjadi wartawan di medan perang, sebelum akhirnya ibuku
sedikit memaksaku untuk masuk ke kelas IPA dimana aku tiba-tiba ngambis
untuk kuliah kedokteran. Sampai disini, aku juga menjadi santri yang cukup mainstream
mengingat cukup jarang santri di pondok kami yang bercita-cita demikian. Sayangnya,
setelah lulus SMA skorku hanya cukup untuk diterima di jurusan Biologi,
sekalipun begitu, ibuku sudah sangat bangga dengan embel-embel kelas
Internasional pada pengumuman SBMPTN hari itu. Aku diterima di kampus yang
cukup bergengsi, dengan jurusan yang cukup sulit diraih. Hanya saja, aku dengan
sukarela mendrop outkan diri. Sekali lagi demi idealisme yang membuncah. Ibuku
sempat shock dengan keputusan yang naudzubillah itu, namun beliau pasrah pada
impian putrinya yang ingin menjadi dokter bedah saraf pertama di kotanya.
Setelah bimbel, dan daftar sana-sini, aku diterima di Jurusan Farmasi, sekali
lagi, FARMASI!. Sampai disini aku sadar mengapa idealisme terkadang harus
ditanggalkan. Sejak di Farmasi aku jadi tak enak hati, mengingat kampusku
berada di kota yang cukup jauh dari asalku, kota yang indah namun aku dengan
kejam menyebutnya pelarian. Namun tidak lagi, aku jatuh hati pada kota itu,
kota yang membuka pandanganku tentang hidup. Selain itu, aku diterima di kampus
swasta yang sekalipun cukup bergengsi dengan peringkat lebih tinggi dari
kampusku sebelumnya, biaya kuliahnya cukup membuatku sempat ragu untuk
melanjutkan kuliah dan berencana untuk bimbel kembali. Orang tuaku mungkin
cukup lelah, maka mereka mengusahakan agar biaya kuliah itu dapat ditutupi, aku
yakin ada beberapa aset tak seberapa yang dikorbankan mengingat aku masuk
kuliah pada tahun yang sama dimana kakakku mengambil program magister secara self-funded
(actually parents funded), dan kedua adikku disaat yang bersamaan masuk ke
pondok pesantren sekalipun pada tingkatan yang berbeda, namun sama-sama
mengeluarkan biaya. Pengeluaran keluarga menjadi semakin besar karena egoisme,
dan sekali lagi idealismeku itu. Tolong, untuk kalian yang ingin gapyear
belajarlah sungguh-sungguh, untuk kalian yang merasa salah jurusan dan hendak
keluar, tolong pikirkan lagi matang-matang, jika perlu, sematang rendang atau
lebih.
Diterima di jurusan yang tak pernah hadir dalam benakku bagaikan
bom yang dijatuhkan di hiroshima dan nagasaki. Duniaku berantakan. Waktu itu,
usiaku menginjak 19 tahun. Menurut test kepribadian MBTI (silahkan googling
bagi yang tidak paham), aku memiliki kepribadian INFJ, dengan salah-satu
karakternya yang sangat suitable dengan diriku yaitu perencana yang baik dan
bekerja sesuai rencana. Sejak kecil aku selalu memiliki long and short term
plans untuk membuat hidupku yang semrawut lebih teratur. Memasuki jurusan
yang tak direncanakan secara ajaib menghilangkan seluruh rencana indah tentang
masa depan. Mengingat biaya yang mahal dan belajar dari pengalaman, idealisme
ku menjadi seorang dokter terpaksa kutanggalkan pada hari dimana uang kuliah
yang cukup untuk membeli sepeda motor itu berpindah dari rekeningku ke rekening
kampus. Aku seperti layangan putus yang sobek sana-sini, terseok-seok oleh
realita. Mendadak, aku kehilangan rencana-rencana jangka panjang, dan itu
membuatku cukup tertekan karena hidupku tak lagi punya impian dan tujuan. All
I knew, I have to make my parents proud. Udah, gitu aja, sesimpel itu.
Usia 19 tahunku dimulai dengan penuh ketakutan dan kecemasan
tentang masa depan. Di pondok dahulu, aku punya ustadzah, kakak kelas, ataupun
teman setia yang memahami hingga sisi paling gelap dari diri untuk sebatas
berbagi kegalauan. Di kampus, lain cerita. Aku bertemu dengan cukup banyak
manusia absurd yang hingga kini kusyukuri hadirnya, namun mengingat usia yang
menginjak dewasa, aku percaya, kebanyakan orang termasuk aku dan teman-teman
sambatku di kampus memilih untuk menyembunyikan beberapa hal. Aku menyimpan
takut dan cemasku sendiri, bukan karena sekelompok manusia tak biasa yang
kusebut Rotibakar Squad alias Vetiveria Cumlaude itu tak memberi nyaman dan
ruang untuk berkisah, namun setelah terdiam dan menyimak kisah satu per satu
dari mereka aku dapat menyimak beban yang lebih berat terbungkus oleh sorot mata
jenaka dan tawa yang berderai-derai. Aku tak ingin menyibukkan mereka dengan
ketakutanku yang berlebih. Aku juga enggan terlalu banyak bercerita dengan
orang tua, apalagi ibu yang selalu menjadi tempat curhat terpercaya. Kuhabiskan
malam-malam dan sepetak kamar kecil penuh sesak untuk berdialog dengan objek
yang tak jelas, terisak sebisa mungkin agar tak terdengar penghuni kamar
sebelah di atas kertas penuh coretan huruf bersambung, angka, dan gambar-gambar
senyawa kimia antah berantah yang sama rumitnya dengan kondisiku. Aku
benar-benar hopeless, teman-temanku yang lain sudah berseloroh tentang
keinginan untuk exchange ke luar negeri, kerja di bidang klinis, menjadi
apoteker, kerja di industri obat, kerja di instansi pemerintah, lanjut S2 dan
berupa-rupa rencana mulia yang lain, aku konstan pada stase penuh tanya “What
the f*ck am I doing here?”. Teman-temanku ikut berupa-rupa kegiatan dan
organisasi, aku menghabiskan waktuku sendiri menekuri buku-buku pinjaman
perpustakan dengan topik-topik random, sambil sesekali memencet-mencet jerawat
yang memuakkan.
Aku sering insomnia, overthinking, dan tentu saja insecure. Aku
mencemaskan berbagai hal, mulai dari masa depan yang tak teraba, hingga fisikku
yang semakin tak karuan bentuknya mengingat pola hidupku yang sangat tidak
sehat. Bruntusanku meningkat beriring dengan postingan-postingan gadis-gadis rupawan
yang mulus di Instagram. Tekanan dalam hidupku juga semakin besar, berbanding
lurus dengan prestasi-prestasi teman-teman dan orang lain yang kusimak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Seriously, on the earlier stage my 19
years old was full of mess. Setelah terlalu lama memendam, toh aku
tak bisa menahannya sendirian. Aku menemui seorang psikolog di kampus yang
membuka layanan konseling gratis. Selama dua jam, kuhabiskan seluruh emosiku
untuk bercerita di depan perempuan setengah baya yang sangat pengertian itu.
Aku terisak cukup lama, entah berapa tissue yang harus kuhabiskan. Pertemuan
itu memberi cukup banyak pencerahan.
“Hidup kita tidak selamanya
linier sesuai keinginan kita, kadang kita baru mengetahui maknanya setelah
berada pada titik tertentu”, demikian ujarnya. Beliau menguatkanku dengan doa
bahwa kelak aku akan menemukan diriku sendiri, meraih cita dan cinta, dan
meyakinkanku bahwa melalui takdir yang
secara menakjubkan membuatku terdampar di tempat yang begitu asing, aku akan terbang
jauh tinggi melanglang buana. Aku mengaminkan doa-doa baik itu dengan mata
sembab.
Aku mulai berbenah diri, memilih mana yang harus dibuang, mana yang
harus disyukuri, mana yang harus dipikirkan, aku perlahan-lahan mulai menemukan
cita-cita baik itu, satu demi satu. Aku pun belajar untuk memahami bahwa
perkuliahan, sesuai kata psikolog itu, bukan bertujuan agar seseorang dapat
mencari kerja, agar seseorang dapat menjadi kaya ataupun menggenggam seluruh
dunia, perkuliahan adalah proses menuju pendewasaan. Aku kemudian bersyukur
masih bisa merasakan proses itu sekalipun terseok-seok. Sekalipun tidak selalu
berlaku secara universal, pendapat itu bekerja pada sebagian besar orang yang
kutemui.
Menginjak 20 tahun kemarin, aku pun menyadari bahwa beberapa bulan
terakhir ada begitu banyak pengalaman berharga yang sepatutnya kusyukuri. Aku
juga bertemu dengan orang-orang baik yang memberikan begitu banyak pelajaran
tentang kehidupan. Aku masih kerap overthingkin, masih terlalu sering insecure,
namun pelan tapi pasti, aku berharap dapat berubah dan lebih fokus untuk
mencintai dan memperbaiki diri.
Sejak 5 tahun lalu, tiap tanggal 9 september, hal yang selalu menghantuiku
adalah kata-kata berbahasa Inggris yang secara tiba-tiba masuk kedalam otakku, “some
people might grow older, but not grow wiser”. Beberapa orang mungkin menua,
namun tidak membijak. Aku berharap tak termasuk dalam orang-orang menyedihkan
itu. Oleh karena itu, aku ingin berbicara lagi kepada diri sendiri, kepada seorang
Fii, Alfiy, Alfiah, Fiyah, atau siapapun orang lain menyebutnya. Sampai disini,
untuk para pembaca, silahkan berhentijika sudah lelah dan terima kasih sudah
berkenan menjejalkan catatan yang tidak jelas ini untuk diproses oleh otak
kalian. Jika hendak dilanjutkan, juga tidak masalah.
Dear, my insecure self,
Congratulations for many-many years of struggling, you’ve been
through a lot of struggles and you did an amazing job. Terima kasih untuk kuat,
untuk tetap menjalani hidup dan hari-hari yang menyebalkan dan melelahkan.
Untuk kedepannya, masih banyak yang harus diperbaiki, namun atas izin-Nya
segala hal-hal buruk pasti akan terlewati.
Fiyah sudah bukan anak kecil lagi, beberapa tahun setelah ini, mau
tidak mau harus berjuang sendiri, semoga semakin kuat, tegas, namun selalu
rendah hati, dan kata seorang teman baik, selalu membumi. Mari belajar menerima
dan mendewasa, pelan-pelan dijalani. Tetap lakukan segala hal-hal baik sesuai
hati dengan ikhtiyar, tekad, dan belajarlah lebih berani.
Pertama-tama, tolong berhenti insecure lagi, bukankah setiap orang
punya sisi baiknya sendiri? Kau yang sering berkata demikian pada banyak hati
yang numpang untuk bersedih. Seperti tanaman, tak semuanya dapat tegak pada
ekosistem gurun dengan pasir panas yang berderai, pun tak semuanya dapat mekar
pada genangan air sejuk dan jernih. Lalu tak setiap bunga mekar dalam gemerlam
musim semi. Demikianlah manusia, fiyah. Setiap kita akan mekar dan menebar
harum dengan cara dan waktu masing-masing. Tak semua orang harus cantik, tak
semua orang harus cerdas. Lalu tak semua harus terjadi sekarang. Be the
authentic and the best version of you, temukan hal-hal baik dalam diri, jatuh
cinta-lah pada sosokmu yang istimewa. Berproseslah, semua akan ada waktunya. Berhenti
membandingkan diri dan mari memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Jika bisa
berubah, silahkan diubah. Jika tak bisa, diluar kendali kita, biarkan, terima
sebagaimana adanya. Ingat kata temanmu yang cerdas luar biasa dan pertemuan
dengannya di kampus lama adalah pertemuan kecil berharga yang membuka sebuah
pertemanan bermakna semoga tak lekang hingga surga-Nya nanti, “Harus diingat
bahwa mereka yang glowing tak jauh beda dengan kita, hanya masalah waktu saja,
jadi tidak usah khawatir”, lalu sosok
itu melanjutkan “Kalau bukan kita yang menerima diri sendiri, lalu siapa
lagi?”. Di lain kesempatan, sosok itu mencerahkan hari yang sangat buruk dengan
perkataan “ Apa hak kita untuk iri dengan orang lain, mereka bersinar dengan
usahanya. Kita pun harus begitu , karena kita percaya dengan diri kita sendiri.
Mereka bisa, kita juga bisa.” Jangan lupa bersyukur, karena ada begitu banyak hal-hal baik , bahkan pada tiap desah nafas dan denyut nadi, selalu ada kisah yang harus diapresiasi dan layak untuk dibagi.
Lalu belajarlah untuk hidup di masa sekarang, jauh lebih baik
daripada mengkhawatirkan masa depan, ataupun meratapi masa lalu. Tugas manusia
hanya berusaha, dan segalah yang di dunia ini tak akan kau bawah hingga mati.
Ingat kata gadis maroko yang periang padamu hari itu? This life will over, dont
take it too serious. Alangkah lebih baik, menyadari hal itu dan menyiapkan yang
terbaik menyongsong kehidupan selanjutnya yang lebih abadi. Ingat tidak dahulu
kau kerap berkata bahwa hidup adalah perjalanan, dimana kelak kita akhirnya
harus pulang?. Ingat juga pepatah lama dari seorang perempuan pendiam dengan
hafalan Qur’an-nya yang terjaga “Mintalah pada Allah, agar dunia diletakkan-Nya
dalam genggamanmu, bukan di hatimu”. Kau mungkin tak akan mampu semulia gadis
itu, namun ambillah, dan lakukanlah hal-hal baik yang kau pelajari darinya.
Jangan lupa menghadapi setiap hal buruk dengan keyakinan baru yang kita
pelajari kemarin “Problems make progress”, pegang kuat-kuat prinsip ini dan
jangan takut dan berpikir terlalu keras akan hal-hal tidak pasti hingga jatuh
sakit lagi. Sayangi dirimu dan kesehatanmu sendiri.
Lalu yang paling susah namun layak dicoba, belajarlah untuk
berhenti mendendam dan berprasangka. Orang-orang yang pernah memberi sakit, tak
semua dari mereka seburuk yang dikira. Ambil pelajaran dari hal yang tidak
diinginkan, dan selalu jaga hubungan baik. Dari pengalaman kemarin-kemarin,
berhenti memberi terlalu banyak ekspektasi dan kepercayaan kepada manusia, tapi
bukan berarti menutup diri dan menjaga jarak kepada mereka yang datang meminta
bantuan dan mengajak berteman adalah hal yang wajar. Terima siapapun, jalani
semampunya, bantu sebisanya, jika nanti ada yang menyakiti dan berkhianat lagi,
bukankah kau punya Tuhan yang lebih berhak untuk membalas perlakuan keji?. Kata
sepupumu yang paling pengertian dan sekarang pun tengah berjuang, (terus doakan
beliau semoga dimudahkan jalannya menuju kebaikan), “ jangan lelah menjadi orang
baik”.
Sudah larut, sampai disini dulu monolog dengan rasa dialog diawal
umur yang semoga selalu diberkahi oleh Sang Pemberi Umur. Untuk saat ini, mari
istirahat sejenak dari hari penuh deadline dan sesak akan pikiran-pikiran
buruk. Selamat malam, selamat menua, dan selamat mendewasa Alfiah Amaliyah.
Dari bumi Toraja yang menjadi sedikit sendu, karena rasa tak
menentu tentang hidup dan fakta bahwa sosok spesial dimana rasa tak bersuara
selalu bermuara, tengah terlelap disalah-satu sudut bumi adat yang sama. Hanya
12 kilometer dari tempat catatan ini
ditulis Hmm, sudahlah, move on saja!. Mari fokus pada cita dan mencipta bahagia untuk mereka yang lebih layak
kau beri bahagia, dan semoga ada cinta yang baik dan benar, tak salah-salah
lagi setelah ini.
-Fii, 10/9/2020-
Komentar
Posting Komentar