Dua Ribu Dua Puluh Satu dan Dua Kembang yang Layu (Bagian 1: Tentang Indo')

 


Prolog:
    Tulisan ini harusnya dipublish dua tahun lalu, tapi karena kesibukan dan juga writer block, maka draft-nya tak tersentuh hingga malam ini. Hari ini, 4 Oktober 2023, di sela-sela praktek kerja profesi apoteker (PKPA) alasan untuk melanjutkan tulisan ini datang lagi. Banyak yang berubah dalam dua tahun terakhir, tentang proses dan progres hidup juga pengalaman-pengalaman padanya yang selalu menjadi kudapan manis bagi mata dan jiwa kala dikenang lagi. Kemampuan menulisku pun mungkin menurun dan tak begitu puitis lagi, pembaca blog ini pun mungkin sudah sepi, tapi tak apalah, semoga tulisan ini kelak dapat dibaca lagi sebagai pengingat dan evaluasi diri.
    Akhir- akhir ini sedang trending lagu "Semua Aku Dirayakan" dari Kak Nadin. Berlomba-lomba netizen dengan segala kisah-kisah hidup yang begitu manis, selalu mereguk kasih dan perasaan dicintai dengan orang-orang terdekat di sisi. Sebagai anak tengah sekaligus anak perempuan pertama, let's be honest, it used to be very difficult for me to relate. Tentu saja aku tak menyalakan orang-orang terdekat, apalagi mama dan bapak yang cintanya tak akan pernah berbalas, namun entah mengapa, susah sekali rasanya merasa dicintai apalagi dirayakan. Mungkin karena kurang bersyukur dan memang pikiran ini selalu penuh dengan kenangan negatif, makanya perasaan semacam itu jarang muncul. Aku tak punya fisik yang dapat dianggap cantik, dan aku tak pernah merasakan berat badan ideal seperti standar wanita Indonesia pada umumnya, dan aku lahir di timur Indonesia dimana sorry to say, rasa pedas masakan selalu berbanding lurus dengan omongan orang sekitar. Aku punya adik perempuan yang cantik dan manisnya selalu menjadi perhatian. Aku tumbuh mendengarkan segala pujian tentang betapa jelitanya adikku itu. Apakah aku lantas membenci adikku? tentu tidak, dia adalah perempuan yang paling kusayangi setelah ibu. Aku hanya membenci bagaimana orang-orang yang setelah memujinya lantas berkata, "kok tidak mirip padahal saudara", atau "kakaknya kok tidak secantik adeknya", atau "cantiknya mama tidak turun ke fiyah, malah gendut, entah ikut siapa". 
    Lalu aku tumbuh dengan wawasan yang cukup luas dan kemampuan berbicara yang baik, juga rasa percaya diri yang dengan kemampuan itu, setelah aku pindah ke sekolah baru, aku dijuluki "sok tahu" oleh teman-teman sekelas, aku dibully sampai beberapa kali enggan berangkat ke sekolah, aku tak punya teman yang bisa menerima kebiasaan yang dulunya kuanggap biasa dan kubangga-banggakan. Ditambah aku tak punya kemampuan kinestetik yang baik, aku tak jago olahraga, bahkan untuk ikut seleksi gerak jalan tujuh belas-an pun aku tak diluluskan, sementara seluruh teman sekelasku lulus dan mengikuti kegiatan itu. Tinggalah aku si anak baru yang sok tahu, sesekali memandangi mereka dari pinggir lapangan. Selain diejek sok tahu, aku diejek gemuk, monyet, dan banyak lagi kata-kata jelek yang JUJUR SAMPAI SEKARANG SAKIT RASANYA JIKA DIINGAT. 
    Aku juga tumbuh dengan kemampuan berbahasa yang cukup baik dibandingkan rata-rata teman seusiaku kala itu, yang selalu dipandang aneh oleh orang-orang sekeliling, diselingi ejekan dan hal-hal berbau julid. Kemudian mimpiku untuk berkuliah hubungan internasional atau ilmu komunikasi ditentang habis-habisan, bakat bahasa Inggris dan teman-teman dari negara lain dianggap hal yang remeh bagi orang-orang di lingkunganku kala itu. Aku sedang belajar memaafkan mereka satu demi satu, belajar memahami bahwa perspektif manusia ditentukan dari apa yang telah mereka lihat, mungkin saja hal-hal yang kulihat berbeda dengan mereka, makanya kelakukanku dianggap tak lazim di mata mereka. Aku juga punya rasa sensitif dan optimistik yang aku merasa selalu berusaha dipadamkan oleh orang-orang itu. Mimpiku terlalu jauh, tidak masuk akal, dan banyak lagi. Kejadian-kejadian itu sudah berlangsung lama, namun masih butuh waktu untuk berlepas diri dari segala traumanya. 
    Sampailah aku dan perjalanan melepas trauma itu pada titik ini, berkilo-kilometer dari kampung halaman, di salah-satu sudut perusahaan farmasi, melakukan stok opname dengan seorang karyawan perusahaan, perempuan Jawa yang lembut tuturnya dan sesekali mengajakku bercanda. Jika bisa memilih, aku ingin anak-anakku dibesarkan di lingkungan se-edukatif, se-ramah, dan se-tenang kota tempatku berpijak ini. Disela-sela stok opname yang cukup melelahkan, aku memandangi botol salah-satu produk minyak angin yang tiba-tiba mengingatkan pada kejadian bertahun-tahun lalu, dan kala mengingat kejadian demi kejadian itu, aku tiba-tiba bersyukur dan tersadar bahwa masa kecilku tak seburuk itu, diantara toksiknya manusia-manusia, ada beberapa orang yang merayakan hadirku dengan suka cita, dan aku baru menyadari itu hari ini. Mataku berkaca-kaca sambil menatap kartu stok dan mengingat lagi sosok sederhana itu. Maka sepulang dari PKPA aku meraih laptop dan membuka kembali catatan lama, draft dari blog ini:

"Labu' ni essoe, turunni uddanie....
wettunani massenge ri tau mabelae,
mabelani laona, tenginana taddewe
tekkarebanna pole, teppasenna pole"

Syair lagu Bugis itu menyusup ke telingaku dari laptop yang kubiarkan menyala dan memutar playlist kesuaanku secara acak. Kala itu aku tengah bergulat bersama buku-buku persiapan ujian akhir blok yang menghantui. Lirik lagu yang baru belakangan kuketahui maknanya setelah merantau itu masih menjadi sebaik-baik inducer rasa rindu rumah dan sesekali diselipi air mata. Aku berhenti membaca dan mendengarkan lirik demi liriknya. 

Labu'ni essoe, turunni uddanie; senja telah berlabuh, bersamanya turun rindu. 
Wettunani massenge ri tau mabelae; saatnya mengingat sosok telah yang jauh. 
Mabelani laona, tengginana taddewe; begitu jauh perginya, seakan telah hilang sosoknya. Tekkarebbana pole, teppasenna pole; tanpa kabar pun tak ada pesan darinya. 

Kata demi kata itu menjelma menjadi suara serak khas yang melantun lembut dalam kepalaku, membawa ingatan pada malam di musim kemarau yang berbintang, pada masa kecil yang tak pernah membosankan untuk disambangi. Aku mendapati diriku, fiyah kecil, terlelap pada ranjang tua dibalik kelambu putih yang melindungi dari nyamuk-nyamuk kecil penghuni rawa dan sungai berair payau yang masuk ke kamar melalui celah-celah dinding papan. Di sebelahku ada sosok itu, wanita dengan gurat-gurat jelita sisa-sisa masa muda pada wajahnya. Keluarga besar memanggilnya indo', kecuali aku dan saudara-saudaraku yang lahir dan besar di kabupaten sebelah, sehingga tak terbiasa memanggil beliau dengan sebutan itu. Kami memanggilnya nenek Tajang, ibu dari bapak yang berdarah Bugis. Bapak menikah dengan mama, perempuan Toraja asli, lalu memilih menetap dan membesarkan kami, anak-anaknya, di Toraja. Tanah yang berkawan baik dengan dingin dan kawasannya terpahat indah pada pegunungan yang menjorok ke bagian tengah pulau Sulawesi. Nenek dan kebanyakan keluarga bapak menetap di daerah Palopo dan Luwu, daerah yang lebih rendah dengan pantai dan sungai berair asin, serta cuaca yang cukup panas dan kering, dengan angin yang kerap berhembus membawa aroma garam dan rumput laut yang dikeringkan di sepanjang jalan. Jarak rumah kami dan rumah nenek sekitar 200 kilometer, yang jika ditempuh dengan motor memakan waktu 5-6 jam melalui rute normal. Namun pada hari-hari tertentu rute normal kadang tak bisa dilalui lantaran longsor dan jembatan yang runtuh sehingga mau tak mau melewati rute alternatif yang memakan waktu lebih. 
    Karena jarak yang jauh, kami mengunjungi nenek setidaknya dua kali setahun. Dahulu, sebelum keluarga kami cukup stabil finansial untuk membeli kendaraan yang mampu memuat kami berenam_mama, bapak, dan empat anak yang jika berkumpul tak bisa menahan diri untuk tidak saling roasting_, kunjungan ke rumah nenek biasanya dilakukan oleh maksimal empat orang, ayah, aku, abang, dan adik perempuan. Waktu itu ukuran badan kami belum selebar sekarang sehingga masih muat untuk touring dengan satu motor. Pada beberapa kesempatan, aku mendapat kehormatan untuk mengunjungi nenek berdua saja dengan ayah. Kesempatan itu langka dan sangat berharga mengingat segenap perhatian keluarga ayah akan dicurahkan padaku; si anak nomor dua dengan rambut panjang bergelombang yang kerap dibiarkan terurai berantakan, badan subur, ribut, heboh, tak banyak gerak kala disuapi dan tak pernah malu meminta makanan jika lapar. 
    Pada kesempatan itu jua aku berkesempatan tidur bersama nenek. Beliau akan membelai rambutku sambil menyenandungkan lagu-lagu Bugis lawas yang penciptanya antah berantah namun sarat makna. Bait-baitnya didominasi pesan tentang kesabaran, kebaikan, kerja keras, keyakinan kepada Tuhan, tak jauh-jauh dari karakter orang Bugis kebanyakan. Selain itu, lagu Bugis banyak yang membahas tentang rasa rindu, entah kepada kampung halaman ataupun kepada mereka yang memutuskan merantau mencari kehidupan. Mungkin karena kecenderungan turun temurun untuk berlayar dan berpetualang, sehingga rasa rindu selalu hadir dan menguatkan rasa cinta yang telah dibangun sebelumnya diantara mereka yang terpisah.  Nenek lebih banyak menyanyikan lagu-lagu tentang rindu itu kepadaku, termasuk lagu Labu'ni essoe yang hingga kini selalu menjadi teman belajar dan beraktivitas.
    Lagu itu selalu mengajakku kembali pada malam-malam liburan kala itu, terlelap bersama suara nenek dan buaiannya yang lembut setelah menikmati kepiting segar yang direbus beliau dengan bumbu sederhana hingga warna cangkangnya kemerahan pada makan malam.
    Sepanjang yang kuingat, hari itu aku baru saja tiba di rumah nenek pukul 1 siang. Hanya ada aku dan ayah yang berkunjung kala itu. Nenek menyambut kami di depan rumah dengan beberapa potong gogoso, makanan yang mirip lemper hanya saja setelah ketan dikukus dan diaroni, ketan di tata pada daun pisang, diberi isian ikan suir kemudian dibakar.  Rasanya nikmat sekali. Setelah makan siang aku mengamati sekeliling, entah untuk apa, namun demikianlah kegemaranku. Aku mendapati buku latihan membaca dan menulis huruf latin yang mirip dengan buku pelajaranku di sekolah. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar kala itu. Aku yang kepo kemudian bertanya mengapa buku itu nyasar ke rumah nenek. Nenek hanya tertawa lalu berkata, bahwa dia sedang mengikuti kelas baca tulis untuk masyarakat lansia. 
    Belakangan baru kuketahui bahwa  kebanyakan lansia di daerah itu lebih senang menulis aksara lontara dibanding huruf latin pada umumnya. Nenek termasuk di antaranya. Aku mendapati beberapa buku tulis dengan aksara lontara yang tertata di ranjangnya. Entah apa yang ditulisnya, beliaupun enggan bercerita, dan bapak tak tahu menahu tentang tulisan itu.
    "Paling catatan nama orang yang berhutang ke nenek", ujar bapak, sembari mengunyah dangke, olahan sagu kesukaannya yang direndam dengan pallu mara, olahan ikan kuah kuning yang segar dengan cita rasa gurih dan asam yang mashaa Allah. Aku tak begitu sreg dengan jawaban itu, maka aku menoleh ke nenek dengan wajah sok imut.
"Nenek mau kuajar membaca?", tawarku dengan sok tahu.
"Pintar maki membaca kah?", tanya nenek tersenyum.
"Iye, 'kan sudah kelas satu, nanti tapi ajarka' menulis lontara'", ujarku dengan wajah yang dimanyun-manyunkan agar keinginan random itu dipenuhi.
"Nantipi, tidur siang dulu",  balas bapakku yang tiba-tiba menengahi.

Setelah dibujuk  dengan sebungkus wafer strawberry akhirnya aku menurut untuk merebahkan diri di karpet. Tak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur pulas. Aku bangun setelah adzan ashar dan bergegas sholat bersama bapak. Setelah itu, aku menuju ke beranda rumah, bermain di atas hamparan rumput jepang alias Zoysia japonica yang tumbuh merambat hingga menyentuh bibir jalan tak beraspal di depan rumah. Aku mendapati nenek yang baru tiba entah darimana dengan menenteng beberapa ekor kepiting segar, lalu tanpa babibu aku mengikuti beliau ke dapur. Aku disuruh mencuci beras, dan itulah satu-satunya keahlianku kala itu selain membuat kopi atau teh manis. Setelah itu aku tak melakukan apapun selain duduk dan mengamati nenek memasak. Beliau menyalakan kayu bakar pada tungku lalu mendidihkan air, kemudian memasukkan bumbu, disusul oleh kepiting-kepiting segar tadi ke dalamnya. Aku terkagum-kagum melihat air masakan itu. Nenek lalu mengajakku ngobrol dengan menanyakan apakah aku senang membaca. 

Cukup dengan satu pertanyaan itu, mulailah aku berkicau tanpa henti, mengalahkan suara jangkrik yang mulai memainkan orkesta alam di luar sana. Aku bercerita betapa aku suka membaca apalagi sejarah islam, buku dongeng , dan cerita rakyat. Lalu entah atas dasar apa, aku mulai bercerita kepada beliau bahwa aku membaca dongeng luar negeri dan bisa menceritakan beberapa di antara dongeng-dongeng itu. Kupikir nenek tidak tertarik, namun di luar dugaan, beliau antusias dan memintaku bercerita salah-satu dongeng yang kubaca. Aku memilih Rattenfänger von Hameln, cerita rakyat Jerman. Aku membaca versi terjemahannya di salah-satu buku yang kubeli pada bazaar di sekolah. Aku mulai bercerita tentang dongeng yang famous itu. Tentang seorang peniup seruling yang diundang ke kota Hamelin di Jerman untuk memberantas tikus dengan seruling ajaibnya. Akan tetapi, setelah mengusir tikus dari kota itu, si peniup seruling tidak memperoleh upah sehingga dia datang kembali pada waktu lain untuk meniup seruling, dimana saat itu bukan tikus lagi yang dibawa meninggalkan kota,akan tetapi anak-anak para penduduk.  Nenek menyimakku dengan antusias. Setelah ceritaku selesai, nenek bertanya tentang judul ceritanya. Maka demi apresiasi aku yang sengaja menyebutnya  dalam bahasa Jerman yang patah-patah agar terlihat keren, diikuti dengan terjemahan Indonesia.

"Wah bahasa apa itu? cerita darimana?"
"Dari Jerman, nenek", jawabku dengan bangga
"Jerman? Dimana itu?", tanya beliau. Aku gelagapan menjelaskannya karena akupun belum pernah kesana.
"Oh, itu di Eropa, dekat Belanda", balasku.
"Pernahko gah kesana?", tanya nenek tersenyum.
"Belum, tapi mungkin kalau besar nanti bisa kesana", ucapku dengan polos.
"aamiin, pergimi sekolah disana supaya nanti muceritakanka lagi kalau pulang kesini", balas nenek
Aku tersenyum, Jerman terasa dekat saja waktu itu, dan waktu terasa  masih sangat panjang, berbanding lurus dengan kebersamaan kami. 

***
Waktu berlalu, aku tumbuh menjadi remaja, kala itu diriku masih duduk di kelas 1 SMP, saat nenek yang sudah sakit-sakitan dibawa ke rumah kami. Masa-masa SMP adalah masa dimana hormon-hormon mulai bekerja, mendewasakan manusia dari segi fisik maupun perasaan. Masa-masa itu jua, kita mulai mematri rasa untuk mereka yang memiliki gonosom berbeda, alias lawan jenis. Sekalipun bersekolah di pesantren, aku tumbuh sebagai gadis normal yang kerap berkirim dan mengirim surat dengan makhluk antah berantah dari asrama putra. Mengingat rumahku terletak di lingkungan pesantren, maka terkadang surat-surat bucin itu dikirimkan langsung ke rumah, diselipkan para babu pengantar surat di jendela kamar, atau disimpan di tiang rumah sehingga terpampang nyata dan dapat dilihat oleh siapa saja. Nenek yang menghabiskan waktunya di rumah, kerap mendapatiku membaca dan membalas surat-surat masa jahiliyah yang alay-nya minta ampun. Tapi aku selalu pandai berdalih bahwa aku sedang berlatih menulis atau semacamnya. Oh ya, aku selalu lupa mengajari nenek membacanya, sehingga kala itu beliau tidak mengerti sama sekali rangkaian huruf yang kutulis. Semuanya aman hingga suatu hari aku yang sedang asyik membaca surat yang diawali aksara Arab, merangkai kalimat bismillah dilanjutkan dengan gombalan klise dibawahnya. Nenek mendapatiku lalu bertanya seperti biasa. Aku hendak berbohong lagi hingga bapak yang ternyata mendengar percakapan kami masuk ke kamar. 

"Adami cowoknya itu, nenek, kirim-kirim surat", kata bapak dengan senyum jahil.
"Ih bukannn", ujarku cemberut, berusaha mengelak.
"Masa?", tanya nenek agak sedikit terkejut di balik kerut wajahnya.
"Iye adami, mau kukasih nikah kalau lulus pesantren nanti, ndak usah kuliah", ujar ayah masih tersenyum jahil. Niat ayah sepertinya bercanda, tetapi nenek menanggapinya dengan serius.

"Sekolah moko dulu, ampo, jangan seperti nenek ndak ada sekolahnya. Harus sekolah tinggi, kalau perlu merantau, lihat tempatnya orang, yang jauh. Jangan seperti nenek, cuma sekitar tempat ini saja natahu", ujar beliau, sembari beberapa kali tersendat.

"Kasih sekolah anakmu, janganko kasih nikah, biarmi dia belajar,  supaya jadi orang hebat, supaya ada ampo-ku jadi orang besar", ujar beliau kepada bapak, Bapak menjadi speechless sesaat.

"Asal mauji berhenti kirim-kirim surat, sama ndak macam-macam sama laki-laki", ujar bapak sesaat kemudian. 
Demi mendengar ucapan itu, aku berhenti berbalas surat dengan mas crush ku kala itu, dan memilih memfokuskan diri mempelajari soal-soal olimpiade. Aku ingin jadi orang hebat, yang kuliah di tempat yang jauh, yang dunianya tak sekecil kampung halaman kami.

***
Demikianlah tulisanku dari dua tahun lalu yang belum sempat kuselesaikan dengan baik. Nenek meninggal bulan Ramadhan tahun 2021 saat aku sedang belajar persiapan olimpiade antar mahasiswa. Mengikuti olimpiade telah enjadi kegemaranku sejak hari dimana beliau berbicara dengan ayah dan aku tentang keinginan beliau agar cucunya sekolah yang jauh, jadi orang hebat, belajar dengan baik. Maka pecahlah tangisku hari itu kala sebuah pesan whatsapp dari adikku masuk, " meninggal nenek, siap-siap orang ke Palopo, pulangko ke rumah". Kebetulan saat itu aku sedang menggunakan WiFi milik pesantren dekat rumah untuk zoom meeting dengan tutor dan teman-teman komunitas olimpiade lainnya. Aku tertegun sejenak lalu menegemasi barang-barangku sambil sesunggukan. Nenek dimakamkan di desa dimana beliau dilahirkan, belum sempat kutepati janji masa kecil untuk mengajar beliau membaca, pun untuk bercerita dengan beliau tentang kuliahku yang walaupun belum di Jerman, aku tahu beliau akan menikmati cerita tentang kota di pulau seberang yang belum pernah dipijak oleh kakinya, namun telah dipijak oleh darah dagingnya, cucu yang dahulu beliau dengarkan ceritanya tentang bacaan-bacaan dari negara antah berantah, yang beliau aamiinkan mimpi-mimpinya, yang beliau doakan menjadi manusia hebat, yang merantau untuk menuntut ilmu di tanah-tanah yang jauh.
    Intinya hari ini, kenangan tentang almarhumah Nenek Tajang menyeruak lagi, dengan alasan yang cukup tak lazim: wangi minyak angin dari rak gudang perusahaan farmasi tempatku berpraktek selama pendidikan profesi. Aku ingat pernah lupa membelikan beliau minyak angin jenis itu saat beliau sedang menginap di rumah kami, seminggu sebelum kejadian dimana dia mendapatiku menerima surat cinta itu. Dengan suara rentanya beliau meminta dibelikan obat. Tapi cucunya yang waktu itu sedang cuek-cueknya terburu-buru mendatangi temannya yang sudah menunggu untuk mencari angin segar ke pasar terdekat. Semoga beliau memaafkan kekhilafan hari itu. Aku kembali mengenang betapa cantiknya wanita itu: tentang gulungan rambut keritingnya, suara seraknya, halus dan lincah tangannya. Tentang badan bungkuk yang tetap bugar untuk mengajakku ke kebun, membuatkanku kelapa muda dengan gula aren, menawariku air hangat, dan mengajariku memasak kepiting. Lalu semangat dan cita-citanya kepada cucunya yang tahu-tahu sudah beranjak dewasa dan banyak belajar di tanah rantau ini, kemudian lagu pengantar tidur yang mendayu-dayu, membawa segenap rindu, juga satu demi satu ingatan tentang sosok-sosok sederhana yang rupanya selalu merayakan kita dengan cara mereka yang mungkin belum dipahami maksudnya. Namun dalam bahasa yang tak dipahami sekalipun, jika yang dibagi adalah cinta maka pada satu titik dalam hidup, cepat atau lambat takdir akan membawa kita untuk memahami segala bentuk cinta yang sesungguhnya selama ini kita terima.

    Terima kasih banyak indo, sudah percaya sama ampota' yang banyak kurangnya ini, semoga disanggupkan langkahnya fiyah untuk jadi perempuan seperti yang kita mau. Semoga ada sempat menghidupkan mimpi-mimpi kita, dua perempuan yang beda zamannya, beda prosesnya, beda cerita hidupnya, tapi sama tangguhnya, hebat dengan masing-masing caranya. 
    Allahummagfirlaha warhamha wa'afihi wa'fuanha, waj'alil jannata matswaha, aamiin.

Diketik dengan kaki yang pegal setelah berdiri seharian dan pikiran yang sedang riuh dengan kekhawatiran tentang masa depan.
Yogyakarta, 4 Oktober 2023.

Komentar

Postingan Populer