Stargazing (Tentang Perjalanan Mencari "Bintang")




Sumber foto: Aplikasi Stellarium

Tentang foto: Gugusan bintang "Pleiades", merupakan gugusan paling terang dan dapat diamati dengan mata telanjang pada konstelasi Taurus, munculnya menjadi penanda dimulainya musim pelayaran di Laut Mediterania. Dalam astronomi Arab, dikenal dengan nama al-Thurayya (baca:tsurayya) atau An-Najm, beberapa pendapat menyebutkan bahwa Surah An-Najm dalam Al-Qur'an, merujuk pada gugusan bintang ini. Dalam astronomi Arab, disebut juga bintang hujan karena terbenamnya gugusan ini di barat langit kala fajar menyingsing menjadi penanda terjadinya hujan lebat selama musim gugur. Dalam Fathul Bari Syarh Sahih Al-Bukhari 4/395, Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa terbitnya bintang ini pada waktu fajar yang terjadi di awal musim panas beriringan dengan dimulainya proses pematangan buah-buahan di Hijaz. Ulama lain, Abu Walid Sulaiman al-Andalusi menjelaskan bahwa munculnya Thurayya adalah pertanda tanaman kurma di Hijaz mulai matang dan bebas dari penyakit, oleh karena itu, menjual dan membeli kurma di waktu-waktu tersebut diperbolehkan. Dua pendapat ini adalah penjelasan terkait hadist Rasulullah yang melarang dilakukannya jual beli sebelum gugusan bintang ini terlihat sebagai indikasi diangkatnya penyakit, dimana kebanyakan ulama berpendapat penyakit yang dimaksud adalah penyakit pada tanaman, akan tetapi akhir-akhir ini banyak disalah-artikan sebagai diangkatnya wabah COVID-19 yang menyebar dengan cepat seperti lumut di musim hujan. wallahu'alaam.

Setelah pembukaan yang cukup panjang dan belibet itu, aku ingin bercerita tentang "Stargazing" alias mengamati bintang, salah-satu kegemaran yang sudah lama tak kulakukan sejak berkuliah di sudut bumi istimewa bernama Yogyakarta. Kala memori diputar kembali menuju tiga hingga sembilan tahun silam, masa-masa menjadi santriwati begitu melekat dan memberi rasa campur-aduk yang selalu punya bagian tersendiri di hati. Sebenarnya, akupun masih ragu menyebut diri sebagai santriwati lantaran aku tidak menetap di asrama dan jauh dari orang tua sebagaimana lazimnya. Aku tetap tinggal di rumah bersama bapak dan mama, tempat dan insan dimana rindu selalu bermuara, karena jika tinggal di asrama lebih terasa tak lazim lagi lantaran rumahku dan asrama putri pesantren hanya berjarak dua langkah. Bahkan beberapa santri yang masih sanak kerabat kami pernah menetap di rumah. Rumah yang menjadi salah-satu dari sekian saksi bisu dosa-dosa terselubung masa remaja;  bersembunyi dari kejaran ustadz lantaran tidak ikut upacara bendera, bolos kelas, hingga membuka "jastip" handphone santriwati yang nekat membawa benda terlarang itu ke pesantren. Semoga dosa-dosa itu tidak termasuk dosa jariyah, aamiin. 

Selama mondok bolehlah kusebut diriku si tukang bolos berwajah polos. Belakangan kegiatan bolosku yang tidak wajar itu kerap kusesali. Aku cukup aktif di siang hari, namun meraibkan diri sendiri kala malam mulai melingkupi. Malam-malam di pesantren diisi dengan kegiatan kepesantrenan, yang tak dapat dihitung berapa kali aku membolos dari kegiatan di masjid antara magrib-isya dan terkadang disambung lagi selepas isya itu. Kala ustadz dan ustadzah sedikit lengah setelah sholat, aku akan mengambil langkah seribu, menuju rooftop kamar mandi alias hammam putri yang terletak di dekat masjid, bersembunyi dibalik tangki-tangki air, dan duduk mengamati langit yang semakin memesona dalam gelap. Selain rooftop hammam, jika cukup berani aku dan kawananku akan bersantai di tengah lapangan madrasah aliyah yang menyuguhkan horizon menakjubkan kala langit berbintang dengan gugusan pepohonan pinus yang membentuk siluet pada pegunungan di arah timur.  Stargazing paling greget dan ekstrem kulakukan  bersama seorang teman dari lahan tak bertuan yang dipenuhi rumput dan semak belukar di bagian selatan pesantren cukup dekat dari rumahku sehingga ada potensi ketahuan oleh bapakku yang kerap menelfon di teras rumah demi sinyal seluler yang cukup mengharukan keberadaannya di lingkungan kami. Selain itu, area tersebut dapat dengan mudah diamati dari jendela masjid, maka apabila ustadz 'tertentu' menyorot kami dengan lampu senter legend beliau- beliau yang kerap digunakan untuk patroli malam (konon sinarnya dapat menyorot objek hingga jarak 1 km), maka khatamlah nasib kami. Temanku mengusung ide gila itu lantaran frustasi dan ingin melihat hujan meteor yang konon terjadi malam itu berdasarkan info yang diperolehnya saat menggunakan WiFi dan komputer pondok tempo hari. Dan aku dengan polosnya meng-acc gagasan absurdnya itu. Hasilnya, kami tak menyaksikan hujan meteor lantaran temanku membaca informasi setengah-setengah, padahal setelah kuklarifikasi lagi, ada waktu-waktu tertentu dimana hujan meteor itu terlihat, sekitar pukul 11 hingga 1 dini hari. Sekalipun tak melihat hujan meteor tetapi kami sudah cukup bersyukur dengan gemintang yang menghiasi cakrawala kala itu, aku semakin bersykur karena secara tak terencana, ada beberapa sachet lotion anti nyamuk yang terselip dalam buku catatan kepesantrenan-ku.

Kala ritual stargazing berlangsung, kami akan menyambungkan bintang satu ke bintang lainnya, membuat konstelasi dan menamainya sesuka kami. Lalu untuk alasan yang tidak diketahui, pembicaraan tentang masa depan akan muncul di antara menit-menit menakjubkan itu. Kami suka bercerita tentang mimpi masing-masing, tentang hendak kemana melangkah setelah lulus nanti, tentang cita-cita, tentang rencana menjelajah sudut lain buminya, tentang desain rumah masa depan tak biasa, dan hal-hal lain tentang harap pada waktu yang tak teraba, lalu diaminkan bersama-sama . Lantaran kebiasan itu, aku kerap menganalogikan kegiatan startgazing sebagai perjalanan seorang mencari 'bintang'-nya, yang paling terang dan dapat menuntunnya dalam hidup yang juga kuanalogikan sebagai perjalanan. Stargazing adalah perjalanan merajut mimpi demi mimpi, yang disulam sedemikian rupa bersama titah ilahiyah, sabda nabi, tutur ulama, dan nasehat orang tua, untuk menjadi penerang dalam perjalanan penuh lelah bernama kehidupan.

Kata Andrea Hirata, penulis favoritku dalam bukunya, "langit adalah kitab terbentang", manusia membacanya, mencari bintang-bintang mereka masing-masing dalam lembarannya. Gemintang telah dijadikan penunjuk arah bagi penjelajah, bahkan mungkin sebelum ditemukannya aksara. Mimpi dan gemintang adalah hal yang serupa, sama-sama menjadi navigasi bagi mereka yang tengah berjalan, dan akan dicari bagi mereka yang salah-arah dan tersasar ke titik antah-berantah. 

Aku menemukan konstelasi mimpi-mimpi yang menjadi kompasku selama di pesantren, kupetakan mereka pada buku catatan sebagai salah-satu bagian dari angkasa, mereka terangkai indah disana. Setelah pencarian dan pergolakan batin, juga konflik dengan orang tua (karena aku bersikeras ingin masuk kelas IPS dan kuliah HI atau jurnalistik, sementara orang tuaku adalah penganut paham bahwa sebaik-baik bidang pekerjaan adalah pendidikan dan kesehatan), aku akhirnya menemukan rencana hidupku satu per satu. Bintangku yang pertama dan sinarnya paling terang adalah melafalkan hipocratic oath alias sumpah dokter yang legendaris, kemudian mendapat gelar dr. di depan namaku. Bintangku yang kedua adalah menjadi dokter forensik atau dokter bedah saraf. Aku menyukai forensik karena kecanduan bacaan berbau detektif dan dengan begitu aku akan banyak mengingat kematian yang menjadi titik akhir rihlah kehidupan. Jika tidak diterima forensik aku ingin menjadi dokter bedah saraf, selain karena kesannya cukup menantang, rumah sakit di kotaku belum punya layanan semacam itu. Aku sering mendengar kisah tentang nyawa pasien gangguan saraf yang perlu pembedahan dan tak terselamatkan selama proses rujukan ke rumah sakit besar yang bejarak lima ratus kilometer lebih. Aku ingin menjadi dokter bedah saraf pertama di keluargaku( dimana yang berprofesi dokter bahkan belum ada)  juga di kotaku. Bintang yang ketiga, adalah menjadi dokter yang turut bergabung dalam kegiatan sukarelawan di Afrika atau timur tengah, aku ingin mendaftar  menjadi volunteer doctor without borders yang dikirim ke medan perang yang tak berkesudahan, atau ke camp-camp pengungsian, hingga ke wilayah-wilayah asing yang bahkan tak muncul di peta. Aku suka membayangkan diriku mengobati korban perang di Palestina atau Syria, menggeser-geser stetoskop pada tubuh anak-anak di camp Rohingya, atau memberikan vaksinasi pada pemukiman warga di tengah savana Afrika yang entah ujungnya dimana. Bintang keempat adalah menjadi dokter yang mendampingi jama'ah haji Indonesia ke baitullah. Masih ada gemintang lain yang hingga kini biarlah menjadi rahasia. Bintang-bintang itu kurangkai dan kubuat kronologisnya sedemikian rupa, lalu kutempel di dinding kamar, kupeluk  menjadi bunga tidur kala malam, kugenggam menjadi penyemangat kala terjaga sebelum fajar menjelang. 

Mimpi dan rencanaku membentuk gugusan bintang yang mempesona, dan aku tak ragu menceritaknnya ke siapa saja, hingga seorang kenalan dari Al-azhar pernah menjadikan pesanku tentang mimpi-mimpi itu menjadi status facebook-nya. Semuanya terasa sempurna dan mudah saja kala itu. 

Lulus SMA, konstelasi mimpiku mulai pecah, berserakan, meledak seperti supernova. Aku harus menelan pil pahit bahwa segalanya tak selalu sesuai rencana. Aku diterima di dua jurusan yang sama-sama pelampiasan. Aku memilih salah-satunya, yang kira-kira paling dekat dengan tujuanku: biologi. Aku menjalani satu semester di jurusan itu tanpa gairah. Aku mulai hilang arah, namun lima gemintang yang kusebutkan sebelumnya masih ada.  Kala malam menyapa, dari balkon kamar kost-ku di sudut Makasar sana, aku kerap menatap gemintang lagi, mencari-cari bintang-bintang lain yang dapat kujadikan navigasi. Bedanya, kali ini kulakukan seorang diri. Teman-temanku banyak yang semakin dekat dengan bintangnya, ada juga yang semakin jauh. Sebelumnya, kami berada di rute yang sama, dan kini jalannya terbagi, mengharuskan kami berpencar ke arah yang digariskan takdir.

Setahun kemudian, kelima bintangku mulai meredup, lalu hancur dan mati, tak bersisa lagi. Aku menyapu serpihan mereka dengan kertas-kertas rumus-rumus kimia dan gambar-gambar benzena yang kerap basah oleh air mata. Untuk kedua kali, aku salah jurusan. Untuk pertama kali, mimpi-mimpi dan rencanaku lenyap. Aku kehilangan bintangku. Bengis realita mencurinya. Aku berpindah kota, dan secara terpaksa berkuliah di jurusan yang tak pernah kuduga. Kala itu, aku mendefinisikan diriku sebagai manusia tersesat.  Hidup begitu gelap, dan masa depan, jangankan diraba, untuk melihatnya satu titik pun, aku tak punya tenaga. 

Seiring waktu berlalu, aku masih tersesat, masih tidak menemukan konstelasi rencana dan renjana, akan tetapi ternyata hidupku baik-baik saja sekalipun penuh tekanan dan beban ekspektasi manusia. Sekalipun tersesat, aku cukup bahagia lantaran menemukan manusia-manusia tersesat lainnya. Bahkan dari ratusan kepala di jurusanku, kuasumsikan 90% dari mereka adalah manusia-manusia yang juga salah jurusan. Bedanya, ada di antara kami yang cepat sekali menemukan bintang alias rencana baru. Sayangnya, aku tidak termasuk di antara mereka. Bahkan hingga kalimat ini ditulis, aku sudah memiliki gambaran namun bingung dalam menentukan arah. Yang membuatku cukup sedih dan tertekan adalah, karena aku tak punya rencana, aku tak memiliki gairah untuk benar-benar berusaha. Untuk apa? toh aku tak punya tujuan jangka panjang selain lulus ujian blok, tak harus mengulang, tak harus mengeluarkan uang untuk remediasi, tak harus disemprot orang tua (kalau kalian mengenalku sebagai manusia ambis dalam belajar, maka anggapan itu benar, aku dituntut belajar giat sejak kecil, orangtuaku tak menuntut nilai tinggi namun mereka cukup sulit mentolerir kondisi dimana anaknya tidak lulus ujian, ujian apapun itu)  dan di akhir blok bisa bersantai menonton drama korea atau membaca buku detektif sejadi-jadinya.

Sayangnya, usiaku yang tak lagi pantas disebut remaja, juga dunia yang bergerak demikian cepatnya membuatku merasa perlu stargazing lagi, mencari bintang, menemukan diri sendiri dan merajut kembali mimpi-mimpi. Aku sudah melakukan trial and error yang tak terhitung berapa kali, pada berbagai hal yang mungkin bisa menjadi tempat menemukan diri dan mimpi, namun kebanyakan hasil yang kuperoleh adalah error dan sisanya masih diproses, entah kapan menemukan hasil. 

Pembicaraan tentang masa depan dan rencana juga sudah menjadi salah-satu dari topik utama pembahasan dengan teman sebaya,  dan selalu memberikan tanda-tanya, setelah ini apa? setelah ini harus kemana?. Setelah sekian diskusi, beragam kegiatan, berbagai deep talk,  berlembar-lembar buku motivasi, berjam-jam kuliah yang terkadang terselip di dalamnya petuah kehidupan dari guru-guru berpengalam, serta sumber-sumber lain, aku menyimpulkan bahwa waktu yang akan menjawab setiap usaha yang dikerahkan untuk tiba pada hari dimana kita seseorang menemukan tujuan dan merajut rencana hidupnya. Pada akhirnya, aku kembali pada sebuah nasehat kala masa ta'aruf mahasiswa di kampus yang kini menjadi almamater kebanggaan: "Tuhan selalu punya cara untuk mengarahkan hambanya", kita cukup memberikan sebaik-baik usaha.

Pada malam dimana aku menatap langit secara virtual dari aplikasi kala itu, aku menemukan bintang tsurayya yang memesona dan membaca tentangnya. Begitu satu paragraf artikel menyebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat rasi ini disebutkan dalam Al-Qur'an, aku pelan-pelan membuka Sabda Cinta paling mulia itu dan tertampar oleh beberapa ayat-ayat, titah Ilahi yang manusia kerap lalai darinya:

"Atau apakah  manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?. (Tidak!) maka milik Allah-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. Dan betapa banyak malaikat di langit, pertolongan mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhoi." (Q.S. An-Najm 24-26)

"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usaha itu kelak akan diperlihatkan kepadanya, kemudian akan diberi balasan kepadanya balasan yang paling sempurna, dan kepada Tuhanmulah kesudahan (dari segala-sesuatu)"( Q. S. An-Najm 39-42).

 

Ayat-ayat itu mengajak merefleksikan kembali fakta bahwa manusia hanya punya hak untuk berusaha, hasilnya diserahkan kepada Tuhan, selaku sebaik-baik perencana, dan apapun yang diusahakan kelak akan dituai hasilnya, entah cepat atau lambat, entah di dunia atau di akhirat. Manusia hanya perlu menunggu untuk memahami hikmah dari segala-sesuatu. Lalu pada akhirnya, kembali kepada Tuhan, adalah sebaik-baik dan sebenar-benarnya tujuan. Apapun nanti yang  menjadi jurusan, menjadi profesi dan bidang pekerjaan, maka demikianlah jalan menjadi hamba sekaligus jalan dakwah yang digariskan, demikianlah rezeki yang ditetapkan. Segalanya akan dipertanggung jawabkan, sehingga sepatutnya digunakan dan dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mengumpulkan kebaikan sebagai bekal untuk pulang dan menghadap-Nya. 

Wallahu 'alaam. 

 

PS: disini tidak ingin ceramah, hanya ingin berbagi cerita, ambil baik-baiknya saja, dan jangan menjadikan tulisan ini sebagai dasar dalam berbicara terkait agama dan ketuhanan karena penulis bukan ahli agama dan hanya membagikan pemikirannya saja. Juga dimohon koreksinya apabila ada kesalahan dan mungkin berpotensi menyesatkan. Anyway, thank you for reading it 'till the end :)

Ditulis selama bulan September yang muram, penuh drama dan air mata.

Yogyakarta, 2021

Sumber:
Al-Qur'an (Mushaf Marwah, Beserta Tafsir dan Terjemah untuk Wanita dicetak oleh Penerbit Al-Qur'an, Bandung)

https://langitselatan.com/2015/07/10/pleiades-mitologi-dan-signifikansinya-dalam-budaya-jawa/

https://muftiwp.gov.my/en/artikel/irsyad-al-hadith/4435-irsyad-al-hadith-series-495-the-rise-of-thurayya-star-is-the-sign-of-the-end-of-a-pandemic

http://onesky.arizona.edu/2015/12/thuraya-the-abundant-darling-of-the-heavens/

https://www.planetary.org/articles/whose-stars-arabian-astronomy

https://en.wikipedia.org/wiki/An-Najm

 


Komentar

Postingan Populer