Hoşgeldiniz 21: Tentang Menua dan Mendewasa

    27 Agustus di salah-satu sudut masjid kampus, aku dan seorang teman terlibat percakapan yang cukup dalam tentang ulang tahun dan beberapa rasa sakit yang rupanya tak cukup jika hanya disembuhkan oleh waktu. Kalimat-kalimat yang kelabu dan mengharu biru, larut bersama rona senja yang perlahan meredup seperti mengucap perpisahan pada bumi yang sendu. 
    "Ulang tahun menjadi spesial hingga menginjak usia 17, itulah mengapa mereka menyebutnya sweet seventeen. Setelah itu yang tersisa hanya bitter, bitter eighteen, nineteen, dan seterusnya", ujarku lalu kami berdua tergelak. 
    Hari itu temanku berulang tahun namun kami menghabiskannya dengan menyalakan rasa sakit dan bertepuk tangan sampil menyanyikan obrolan galau. Aku pun menyimpan rasa was-was karena beberapa hari setelah itu, aku akan memasuki fase yang serupa, berulang tahun. Aku deg-degan menyambutnya tanpa alasan yang jelas. 9 September, aku resmi menginjak 21 tahun, usia yang disebut orang-orang sebagai tahap dewasa awal. Menariknya, aku merasa tak ada yang spesial hari itu selain ungkapan dan doa bertubi-tubi, juga hadiah-hadiah dari beberapa orang terkasih. Aku tak excited seperti 9 September pada tahun-tahun sebelumnya. Aku memasuki fase dewasa awal dan kenyataan itu membuatku tertekan. Dari berbagai sisi, entah mental, spiritual, dan emosional, juga tak kalah penting: finansial. Aku belum siap menjadi orang dewasa, yang bergantung dan bertanggung jawab penuh atas diri sendiri, mampu mengendalikan emosi, tak banyak ekspektasi namun penuh kontribusi. Aku merasa jauh dari sekian kriteria tentang mendewasa yang kubuat dengan idealisme-ku sendiri. Malam itu, bahkan tanpa alasan yang kuketahui, aku memilih mendekam di kamar dan menghabiskan berlembar-lembar tissue untuk menyeka air mata yang terus menggenang dalam sepi. Setelahnya, harusnya aku menulis disini, namun untuk membuka laptop saja aku seakan kehabisan energi akibat kekhawatiranku sendiri. Maka aku menulis birthday diary, yang merupakan tradisi anual itu pada sebuah buku catatan harian. Birthday diary-ku sebenarnya lebih kepada surat untuk diri sendiri. Setelah kubaca-baca kembali, rupanya kalimat-kalimat yang kugunakan sangat berapi-api dan penuh emosi Dalam pada itu, netizen yang budiman, aku akan memilah dan memilih dulu apa yang akan kutuangkan dalam catatan ulang tahunku kali ini. Pada beberapa helai kertas malam itu kurang lebih demikianlah redaksi yang kutulis:
 
(Aku mengawali-nya dengan bismillah dalam tulisan Arab, agar lebih berkah)
Halo Fiyah, 
    Selamat mendewasa hari ini. Sudah lebih dua dekade terlewati. Kau telah berada pada titik luar biasa dalam mendewasakan diri. Usia 20 tahun kemarin berlalu cepat, namun banyak hal-hal baik yang melekat, semoga di usia ini, semakin banyak hal-hal baik yang didapat, khususnya mimpi-mimpi yang selama ini kita pendam rapat-rapat.
    Sudah 21 tahun, sudah bukan lagi remaja yang bahasannya penuh tentang cinta-cintaan tanpa kepastian. Kita menjelang dewasa, bersama segenap kesempatan menuju asa. Sebulan terakhir bahkan hingga hari ini, segala rasa sakit, khawatir, kecewa, dan hal-hal negatif silih berganti menghantui. Dirimu lelah sekali. Bahkan untuk malam ini, mungkin tidur pun masih tak nyenyak mengingat hal-hal yang harus dikerjakan esok hari.
    Yang kuat dan sabar yah, Fii. Tak apa-apa menangis dan bersusah-susah dulu hari ini, agar besok kita tertawa dan berkawan dengan segala kemudahan dan kesuksesan yang kita perjuangkan. Esok kita akan menginspirasi, esok kita kan berbagi cerita tentang pahit dan asamnya hari ini.
    Teruntuk mama dan bapak yang sudah melahirkan, merawat, mendidik, dan tak letih membersamai, semoga hadiah dari keduanya dapat menjadi teman dalam perjalanan Fiyah menjadi terang untuk keduanya nanti, aamiin. Semangat Fiyah, lakukan dan kerahkan versi terbaik diri. Pelan-pelan kita harus bangkit lagi. Tentang segala kekhawatiran hari ini, belum tentu terjadi nanti. Jangan dipikirkan berlebih. Cukup jalani, dan hadapi.
    Kau khawatir masalah rezeki dan biaya, padahal kau punya Tuhan yang menjadi sebaik-baik pemberi rezeki lagi Maha Kaya. Jangan takut, rezeki akan selalu ada beriring dengan jatah nafas yang tersisa ( yang sesungguhnya rezeki jua). Nanti kita banggakan dan bahagiakan kedua orang tua yang mungkin sudah bersusah-susah hari ini. Menjadi orang yang sukses dalam dunia, lebih sukses lagi akhiratnya. Pelan-pelan kita usahakan sama-sama.
    Kau khawatir akan perkataan pun ekspektasi manusia, padahal toh bukan mereka yang jadi penentu baik-buruknya kita. Kau khawatir dan kecewa dengan pengkhianatan manusia yang masih membekas saja, hingga kau iri pada segenap pencapaian yang ditetapkan sebagai rezekinya. Aku paham kau sakit, tapi sampai kapan? Mau sampai kapan kau sempitkan hatimu oleh dengki? sampai kapan harus terpuruk sendiri dalam kubangan benci? sementara dia terus maju dengan usahanya sendiri. Kalau hatimu sebegitu keras untuk memaafkan, tak perlau dipaksakan selesai sekarang. Tapi setidaknya berhenti memfokuskan pandanganmu pada progresnya!.  Toh kau punya progres dan rezekimu sendiri, fokuslah untuk membangun diri dan meraih cita dan mimpi.
    Kau khawatir tentang sosok yang padanya kau mungkin menaruh hati, pikiranmu tak bisa teralihkan darinya akhir-akhir ini. Hatimu berbunga dan sekalipun ada sedikit rasa berdosa, kau diam-diam bahagia. Lalu kau takut sosok itu pergi dan menemukan bahagianya pada sosok lain yang bukan dirimu. Kau cemburu untuk hal yang tak ada hak  bagimu untuk di-cemburui. Memang sudah usiamu untuk merasakan hal-hal semacam ini. Tapi pikirkan lagi. MASIH BANYAK YANG HARUS DIRAIH. Pada kecamuk yang tak terkira dalam diri, kau bahkan belum selesai. Kau belum menuai mimpi dan janji yang hendak dikejar seorang diri. Sudah!, pelan-pelan kita harus sibuk dan melupakan, juga mengikhlaskan, toh kalau jodoh sosok, sejauh apapun nanti langkah berderap, dia jua yang akan menjadi tempat pulang. 
    Banyak sekali amanah yang harus diusahakan, kurangi dahulu cinta-cintaan yang tak memberimu kepastian. Fokus pada mereka yang cinta-nya tak perlu lagi kau tanyakan. Bismillah, pelan-pelan, satu per satu kita capai segala azzam yang dirangkai, aamiin.
    Jangan lupa banyak bersykur, akhir-akhir ini rezeki pun silih-berganti namun fokusmu hanya ke hal-hal negatif dan iri hati. Syukur-mu luaskan lagi, beri apresiasi untuk hal yang sudah dimiliki. Banyak yang berharap berada di posisimu sekarang ini. 
    Pada akhirnya, fokus lagi pada pengembangan dan pendewasaan dirimu sendiri. Selamat menuda dan mendewasa, semoga semakin membijak, semakin luas langkah dan semakin banyak tempat-tempat baik yang kau pijak. Selamat berproses dan berprogres. Semoga lelahmu lillah 
 Yogyakarta, 9 September 2021
A birthday diary
    Demikian kurang lebih redaksinya, banyak bagian yang terpaksa dieliminasi lantaran takut menimbulkan reaksi-reaksi yang tak diinginkan. Masalahnya dalam catatan harian, segalanya dideskripsikan sebagaimana adanya. Intinya, aku berusaha sebaik mungkin menyambut usia 21 tahun yang terasa sangat challenging itu, dan resolusi  besar yang kubuat adalah mengusahakan agar terfokus pada diri sendiri, berhenti mengukur panjang langkah dengan penggaris milik manusia lain sekaligus mengesampingkan ekspektasi dari mereka pun ekspektasiku untuk mereka. Selain itu, aku hendak mengusahakan agar tak lemah lagi dengan urusan hati. Katanya, perempuan akan sukses dengan mudah jika dia tidak memikirkan laki-laki dan usia. Maka dengan selesainya tulisan ini, aku menyatakan berhenti dari kekhawatiran tentang umur yang semakin menua. Terkait laki-laki, rupanya setelah ku-publish tulisan yang cukup mengandung unsur bucinisme kemarin, hatiku malah berbunga namun masih dalam batas wajar. Uniknya, aku tak takut lagi jika sosok itu menemukan rumahnya dan tak lagi singgah di beranda. Aku mengusahakan bahagiaku atas bahagianya yang entah kelak dituainya dari manusia yang mana. Rumi benar, tanpa lidah cinta justru lebih terang. Andai aku secara eksplisit berbicara padanya tentang perasaanku yang rumit dan menyedihkan, tentu akan lain cerita.
    Kembali tentang pada pembahasan tentang umur yang bertambah, pada akhirnya, aku belajar memaknai ulang tahun  lebih dari sekedar tiupan lilin, kado, serta krim manis pada kue tart yang bertingkat-tingkat. Dan memang sejak kecil tak pernah aku diajarkan bahwa definisi ulang tahun se-sempit hal-hal itu. Aku menganggap ulang tahun adalah  pengingat bahwa usia akan berkurang dan sadar ataupun tidak, dan langkah setiap insan rupanya membawa agar semakin dekat  menuju pertemuan dengan sebaik-baik Pemberi Cinta. Maka sekalipun beberapa ulama mengharamkan ulang tahun, dan sepertinya memang tak ada hadist dan anjurannya, usia yang bertambah biarlah menjadi titik-titik istimewa, dimana manusia mengevaluasi dan memetakan lagi arah hidup yang tak lama pada dimensi yang fana. Hingga, nanti kala habis jatah usia, kita menghadap kepada Pemberi Usia dalam kondisi sebaik-baiknya dan setenang-tenangnya.

Wallahu 'alaam , penulis blog ini bukan ahli agama, sehingga apabila ada tulisan yang sekiranya salah, mohon dimaklumi dan lebih baik lagi bila diluruskan :).
Ditulis sambil menahan kantuk,
Yogyakarta setelah hujan berinai-rinai,
13 September 2021
-Fii-


Komentar

Postingan Populer