Turkiye'de Sevgi Var (II)



..."aşk bakmak değil görmektir
sevmekten çok tanımak tır
aşk bakmak değil görmektir
sevmekten çok tanımaktır
seviyorum demek kolay dır ama önemli olan gönülden sevmektir
ve hep onu düşünmektir gece veya gündüz"....
-AB-

--Continue--
Sebulan berlalu, aku mempunyai rutinitas yang baru selain menulusuri lembar demi lembar buku-buku tentang Edward Jenner dan Alexander Fleming; menatap layar laptop, menunggu titik kecil hijau muncul di profil facebook milik Abdullah. Terkadang sembari menunggunya, aku membuka berupa-rupa situs tentang Turki, terkagum-kagum menatap kota-kota indah yang namanya familiar karena kadang terdengar olehku saat ayah mengajarkan tarikh islam kepada santri-santriyah di pesantren.  Waktu itu aku masih benar-benar bocah yang tak pandai mengeja aksara, aku akan duduk manis di sudut kelas sambil mencoret-coret selembar kertas membentuk benang-benang kusut , sekusut hatiku ketika memainkan keyboard, menulis kisah ini. Aku menatap Istanbul, Izmir, Uskudar, Kayseri, Ankara, Sanli Urfa, Konya, satu demi satu, menatap bagaimana bangunan-bangunan modern merengkuh tembok-tembok tua bersejarah, sambil membayangkan aku menyusuri jalan-jalan kota itu dengan mantel hitam selutut dan syal cokelat rajutan. Ternyata dari kecil, bakat halusinasiku sudah cukup matang.  Selain membaca tentang kota-kota di negeri dua benua, aku menyempatkan diri membaca tentang makanan-makanan, tradisi-tradisi, baju tradisional, atau apapun itu, aku bahkan mempelajari sistem pemerintahan hingga hafal lagu kebangsaan Turki. Di waktu senggang aku menyempatkan mempelajari bahasa Turki sambil memonyong-monyongkan bibir mengucap kata günaydın, özledim, güle-güle, dan berupa-rupa  kata-kata Turki lainnya hingga otot wajahku pegal-pegal. Hari-hariku saat itu  hanya tentang dia dan Turki. Terkadang di usiaku yang sebentar lagi meninggalkan usia belasan, aku sempat berpikir mengapa kisahku bisa sebucin itu.
.
Saat Abdullah online, dia akan menyapa dan mulai bercerita tentang harinya, tentang pelanggan-pelanggan, tentang cuaca Gebze hari itu, tentang menu makan siangnya, dan banyak hal lain yang kusimak dengan aliran darah yang terasa lebih cepat dari batas normal. Entah disadari olehnya ataupun tidak, aku merasa lebih berarti jika semalam suntuk membaca pesan penuh "sambat" miliknya, aku merasa seperti sosok yang dipercaya, yang mampu membuatnya nyaman untuk bercerita, namun sepertinya belum cukup nyaman menjadi teman untuk hidup bersama upps :').
.
Saban hari dia akan bercerita tentang mimpinya, tentang minatnya yang besar pada sastra, katanya, kelak suatu saat nanti, buku-bukunya akan diterbitkan, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang dirinya sendiripun tidak tahu menahu tentang bahasa itu.  Abdullah rupanya adalah motivator yang baik bagi seorang fiyah untuk mulai dan berani merangkai kata. Sejak kecil, aku pun ingin sekali menulis buku, namun tak berani menorehkan bahkan sebait puisi pun di atas kertas. "Anggaplah kertas adalah teman sebagai tempatmu bercerita tentang hari musim panas yang bahagia, ataupun tentang malam kelam penuh luka". Kurang lebih seperti itulah arti pesannya.
 Abdullah dengan  pesannya hari itu, rupanya benar-benar mengubahku.  Semenit, bahkan tak sampai, lelaki turki itu mengubah seluruh hidup seorang gadis kecil yang tak dikenalnya. Dia mengenalkan gadis itu pada dunia, yang kelak dijadikannya rumah, yang sekalipun terkadang ditinggal dan butuh waktu lama untuk bersua, rumah itu adalah penghiburnya, tempatnya menenangkan diri dari riuhnya  tempat lain yang melelahkannya.
.
Pada Abdullah, aku bercerita tentang mimpiku menjadi sukarelawan di medan perang ataupun di pedalaman Afrika. Aku bercerita tentang mimpiku membantu sesama dan berkeliling dunia. Dia akan membalasnya dengan doa-doa agar segala cita itu menjelma nyata.
.
Hari-hari pun berlalu, rasa aneh yang menyergapku tiap berbincang dengannya  tak kunjung sirna. Dan aku menikmati ritme jantung tak beraturan sepaket dengan rasa bahagia yang take dapat dijelaskan. Hingga suatu saat, dia dengan tiba-tiba memutuskan untuk memberi batas pada pertemanan kami. Duarrrrr, ambyar! 

"I think we shouldn't talk this much, tomorrow I think we have to stop talking like this", pesannya.

"Why? ",  balasku

"Nothing,  I just feel that we need some limits", balasnya, kemudian tertera keterangan "mengetik", kemudian hilang, dan bulatan hijau pada profilnya menghilang.

Untuk beberapa jam berikutnya, aku mengalami fase yang disebut "ambyar", ketika segenap rasa dan renjana berkeping-keping berserakan entah kemana. Keesokan harinya (keesokan malamnya lebih tepatnya),  aku memperoleh pesan darinya, yang kemudian kusyukuri sekaligus kutangisi hingga berhari-hari.

...  "I got a crush on you, honestly, and that is really wrong, because a lot of obstacles between us. Our ages, our cultures, our point of views, and this long distance. I can't promise myself that I will be able to deal with this feeling by make it in halal way, so I can't promise you too, Alfiy. Help me to stop this feeling because I can't help myself if I spend all my times with you. "...

Aku menatap layar laptop, membiarkan diriku larut dalam rasa yang bercampur aduk. Aku bersyukur bahwa rasa ini rupanya tak kurangkai sendiri, namun kecewa turut menyelimuti karena penjelasannya yang terkesan pasrah pada keadaan. Aku hendak menghujaninya dengan pertanyaan, "bukankah rasa harusnya diperjuangkan? ", "bukankah segala rintangan boleh dilawan", "bukankah masih ada harapan yang dapat diusahakan".  Namun aku tak cukup berani. Aku berusaha menghargai pilihannya. Saat itu aku berpikir bahwa Abdullah lebih dewasa dan lebih mengerti tentang hal yang dapat diperjuangkan ataupun dipasrahkan. Hingga kini,  pilihan itu sangat menyakitkan, namun semakin usiaku bertambah aku merasa mengambil keputusan yang tepat, untukku dan untuknya.
.
Aku mengetik dengan pikiran yang mengawang-ngawang,
"fine abdullah, thank you for everything, I wish you a happy life",  diakhiri emoticon smile yang kuketik beriring setetes air yang tahu-tahu membasahi pipi.

Untuk pertama kali,  aku menangisi sosok bergonosom XY yang hingga kini masih wallahu 'alaam wujud aslinya seperti apa. Rupanya menangis karena cinta pertama,  sensasinya berbeda dengan menangisi lutut setelah jatuh dan terluka.  Aku menghabiskan malam membenamkan wajah pada bantal, menikmati aliran imaji dan harapan yang harus kukeluarkan dari pikiran, harus dibuang sejauh mungkin.

Keesokan paginya aku bangun dengan mata sembap. Kegalauanku tak putus-putus hingga seminggu kemudian. Aku akhirnya mengikuti saran sebuah situs di internet bagi orang-orang yang baru saja patah hati  untuk mengurangi komunikasi dan  menyibukkan diri.

Aku tak menyentuh laptop sedikitpun,  membaca buku dan mengerjakan latihan soal-soal ujian, membiarkan pikiranku sibuk dengan berupa-rupa operasi hitung dan anatomi sistem organ sederhana. Pada titik jenuh, aku menyempatkan diri menulis. Aku menulis sekehendak hati,  membiarkan kertas sebagai tempat bercerita dan meluapkan keluh kesah.

Tak butuh waktu hingga sebulan bagiku untuk lepas dari kegalauan. Aku berhenti menangis dan meratapi kenyataan. Rasaku padanya belum berubah, dan tidak mungkin bagiku untuk lupa. Terkadang serpih rindu mengusik, namun kunikmati sebisa mungkin, membiarkannya mengalir begitu saja. Tak mungkin rasa berubah secepat dahulu ia menyapa, itu fakta, kita tak mungkin lupa, yang dapat dilakukan hanyalah : "menerima".

Menerima realita bahwa tak selamanya harap menjadi nyata, tak selamanya kisah kasih berakhir bahagia. Seiring usia bertambah, rupanya kemampuanku untuk menerima kenyataan semakin berkurang. Maka aku bersyukur karena usiaku saat mengenal dan tersakiti oleh cinta masih benar-benar bocah sehingga aku dengan mudah beradaptasi dengan rasa sakitnya. Orang dewasa cenderung lebih peka terhadap rasa sakit, karenanya kenyataan dapat terpahat demikian kelam dalam perspektifnya, butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar sembuh dari luka.

Setelah ujian nasional, kusempatkan mengunjungi kembali Facebook Abdullah. Tak sedikitpun berubah, tulisan-tulisan menghiasi statusnya dengan manis. Aku tak ada niat untuk berbicara lagi dengannya, aku tak tahu harus kumulai darimana, namun aku berusaha memastikan sosok itu baik-baik saja.

Perlahan aku belajar, bahwa cinta bagaimanapun bentuknya akan selalu menguatkan, bukan melemahkan. Katanya, dicintai oleh seseorang dengan tulus memberikan kekuatan, dan mencintai seseorang dengan tulus memberikan keberanian.

Hari demi hari berlalu, dan perlahan-lahan aku memasuki fragmen-fragmen hidup yang baru.  Setelah Abdullah,  aku sekali dua kali pernah menaruh hati kepada sosok lain, namun selalu berujung pada perpisahan yang memberi luka. Aku tiba pada fase dimana aku hanya terfokus untuk mencintai diri sendiri, fokus belajar banyak hal, memperbaiki yang harus diperbaiki, menyusun masa depan dan menyulam mimpi demi mimpi
***
Suatu hari di 2015, masa lalu kembali menyapa, ku memperoleh friend request dari Abdullah, setelah hilang kontak karena Facebook lamaku diretas oleh makhluk gabut yang wallahu alaam entah siapa. Sesaat kemudian, dia menyapaku melalui chat.

"Selam fiyah, how are you",  tulisnya.

Pesan yang cukup singkat untuk menyebabkan tachycardia dan galau yang panjang, aku membacanya 3 detik, kemudian tak tidur memikirkannya selama 3 hari. Kami berbincang banyak, dia bercerita tentang toko telfon pamannya yang kini  dipimpin olehnya,  tentang hari-hari yang berlalu tanpa sedetik pun kami saling menyapa. Aku bercerita kepadanya tentang masa-masa awal di madrasah aliyah, sulitnya beradaptasi, dan waktuku yang mulai tersita oleh berupa-rupa ekskul dan organisasi.

Malam semakin larut, dan aku benar-benar melupakan setumpuk kertas yang tergeletak di sisi laptop, berisi soal-soal olimpiade yang tadinya kukerjakan. Rupanya, rasaku masih sama, tidak sedikitpun berbeda, dia seperti medan magnet kuat yang menarik pesona segala hal menuju kepadanya. Aku masih terhipnotis bahkan hanya pada huruf-huruf yang diketiknya, dengannya aku seolah berpindah dimensi, dia adalah rinai hujan, kepingan salju yang berjatuhan, gemintang yang bertebaran, semburat surya pada gemawan, senandung ombak yang bersahutan, kabut pagi yang menyapa pepohonan, serta dingin yang merengkuh pegunungan. Dia adalah keindahan,  padanya kusimpan rasa tak terdefinisi yang tak berkesudahan.
.
"I have to back to work, but before that I have a surprise",  kesannya

"Awh, what is that ?", ketikku dengan berdebar-debar.

"I will marry soon, after two months, please pray for me",  tulisnya. Untuk pertama kalinya, aku membenci kejutan. Aku tak tahu harus berkata apa, entah darimana dan mengapa, ada sesak yang hinggap di dada. Rasanya benar-benar tidak enak, seperti kekurangan oksigen, seperti ada yang tertahan, harus segera dikeluarkan dan diluapkan.

"Alhamdulillah, barakallahu lakuma, wa jama'a bayna kuma fiy khayr, tebrikler abi", ucapku, diakhiri emot smile yang sesungguhnya berisi kegalauan.

Aku berharap dia hanya bercanda dan akan menarik kembali kata-katanya, berharap dia hanya ingin mengagetkan dan nyatanya dia memiliki kabar yang benar-benar membahagiakanku, dia akan ke Indonesia dan menemui ayahku misalnya.  Dasar halu!.

Namun Abdullah benar-benar serius. Sehari kemudian aku melihat foto-foto lamaran yang diupload olehnya. Ada sesak yang menggelayuti paru-paruku, namun anehnya aku bahagia. Aku bahagia karena sosok itu menemukan bahagianya. Sosok lelaki yang pertama selain ayah, (dan belum ada sosok lelaki lain setelahnya)  yang berani kurapal dalam doa. Bukan doa-doa agar kami dijodohkan, dipersatukan, dan doa-doa mainstream lain yang kerap muncul di akun sosial media pemuda-pemudi hijrah jaman now.

Aku mendoakannya agar bahagia, agar dimudahkan segala urusannya di dunia hingga surga-Nya. Aku tak pernah melihat senyumnya lebih lebar dari senyumnya pada foto-foto itu. Aku berusaha tersenyum meredam segala sesak dan secuil rasa sedih, rupanya, bahagia seorang Abdullah, tidak diletakkan pada diriku. Dia menemukan cahayanya pada seorang gadis Turki yang terlihat bersahaja dalam gaun putih sederhana, gadis yang tangannya semoga 'kan terus digenggamnya di dunia hingga surga-Nya.

Tak lama kemudian, hari pernikahan pun tiba. Aku menyaksikannya melalui beberapa foto dan video yang dikirimkan Madam Zuhret. Aku lupa menceritakan tentang beliau. Beliau adalah bibi Abdullah yang  boleh disebut cukup gaul untuk seorang wanita menjelang usia 70-an. Hingga kini aku masih chit-chat dengannya tentang hal-hal random seperti resep menemen, kebab, sutlac، dan dia tak henti-hentinya menghujani pertanyaan tentang trend fashion dan makanan-makanan serta bahan-bahan kosmetik yang bersifat anti-aging.

Madam zuhret adalah satu-satunya orang Turki yang tahu bagaimana perasaanku terhadap keponakannya itu. Dia mengirimiku foto-foto diiringi permohonan maaf karena tak bisa menggagalkan pernikahan itu, dia menyelipkan doa agar aku dimudahkan untuk menemukan pria Turki lainnya yang lebih kaya dan mampu membawa keluarganya untuk melamarku ke Indonesia. Aku merasa geli dengan doa yang entah harus kuaminkan atau tidak itu.

Setelah pernikahan Abdullah, anehnya aku sama-sekali tak dihinggapi rasa kehilangan. Mungkin karena sejak awal, aku menyadari betapa besar ke tidak mungkin an untuk bersama. Namun tetap saja ada segores luka yang terbentuk dan sebisa mungkin berusaha kututupi, luka karena kenyataan tidak berpihak pada angan yang menghantui sejak lama.

Aku banyak membaca tentang orang-orang yang jatuh cinta hanya sekali, dan hidup bersama dengan cinta pertamanya sepanjang usia. Betapa aku ingin seperti mereka. Kenyataan bahwa cinta pertamaku berakhir dengan perpisahan dan pelepasan yang sekalipun secara baik-baik rupanya memberi luka yang hingga kini masih saja kambuh sewaktu-waktu.

Sekalipun berakhir tak sesuai ekspektasi. Aku belajar banyak hal. Khaleed Hosseini, penulis Afghan-Amerika favoritku pernah berkata, "Terkadang kejadian yang terjadi dalam beberapa hari, bahkan hanya dalam sehari, mampu mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang".

Hari dimana jemariku tanpa sengaja mengklik send friend request pada akun facebooknya adalah hari yang mengubah nyaris keseluruhan perspektifku tentang dunia.  Aku yang mencintai sains dan bercita-cita menjadi professor di bidang Fisika secara tiba-tiba ingin menjadi seorang jurnalis dan penulis buku sastra yang dapat mengubah dunia dengan tulisannya.

Abdullah mengenalkanku pada dunia lain bernama sastra, mengajarkanku untuk berteman dengan kertas dan pena, menceritakan segala hal yang bahkan enggan untuk diceritakan pada manusia. Abdullah mengenalkanku pada Turki, yang hingga kini masih menjadi negara setelah Saudi dan Palestina dalam list tempat yang harus kukunjungi setidaknya sekali sebelum ruh terpisah dengan jasad. Turki adalah tanah asing dimana pada setiap sudutnya kutitip ribuan pengharapan agar kelak mampu kujelajahi. Betapa aku jatuh hati pada negeri Konstantinopel, pada Bumi Ustmaniyah yang menjadi saksi betapa dunia Islam pernah demikian jaya. Yang terpenting, Abdullah mengenalkanku pada suatu fase untuk memasrahkan segalanya, dan percaya sepenuhnya pada sebaik-baik Pemberi Cinta, Pada Dzat yang mempertemukan dan memisahkan, yang cinta-Nya tak berkesudahan, dan menaruh harap dan percaya kepada-Nya tak akan mengecewakan.
.
Tahun 2016, putra pertama Abdullah lahir, seorang anak laki-laki yang diberi nama Hasan, seperti mendiang kakeknya. Kisahku dan Abdullah benar-benar berakhir. Tahun berganti dan aku belajar membuka hati, namun aku tak yakin apakah hatiku benar-benar mampu terbuka lagi. Pada titik dimana kurangkai tulisan ini, aku sedang berada pada fase jenuh untuk memulai lagi. Sepertinya masih terlalu dini.  Beberapa tahun belakangan aku sempat menjalin hubungan, namun selalu berakhir pada perpisahan yang penuh drama melelahkan. Aku sadar bahwa masa itu hanya sebatas masa pelampiasan dan permainan. Untuk sekarang, aku hanya ingin terfokus pada diri sendiri, menjadi gadis yang berbakti kepada kedua insan yang tak lelah menyemangati, membanggakan mereka yang dicintai, bahagia, meraih mimpi demi mimpi.
.
Untuk sosok utama yang kutulis dalam kisah ini, hari ini, tanggal satu januari, selamat menua, jadilah imam rumah tangga yang baik untuk keluarga kecilmu yang bahagia, sakinah hingga surga-Nya, Tebrikler, abi. Terima kasih telah hadir, menyapa dan mengubah diri gadis asing yang belum sempat kau temui,  terima kasih atas segala pengalaman dan pelajaran.
.
Lewat tulisan ini, kukenang dan kubuka luka lama, lantas kubasuh dan kututup lagi, untuk kesekian kali. Perkenankanlah kisah ini kubagi, dan tak lagi kusimpan sendiri, mungkin dapat membantu lukaku pulih dan memberi sedikit manfaat bagi mereka yang hendak membacanya hingga usai.
.
-End-
Yogyakarta, 1 Januari 2020
32. doğum günün kutlu olsun 😊
-Fii-

Komentar

  1. Aaahh fiyaahh sini peluk 😭😌🙃 fiyah hebat kuatt 🤗 your story has really touched my heart ❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you 🌼, maaf eh entah kenapa komentar2 kemarin ga muncul paschal udah bales komennya beb :')

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer