A Piece of Rihlah


(Kisah Sepotong Perjalanan)

Tana Toraja, Tana Toleransi.
            “Dari Toraja?, Masyaa Allah”
            “Ada yah Muslim di Toraja?”
            “Mu’allaf yah?”
            “Baru hijrah yah?”
            Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan kepadaku setelah berkenalan dengan sebagian besar orang baru yang kutemui. Pertanyaan yang bermakna sama pun menjadi tidak asing lagi  bagi muslimah-muslimah dari bumi lakipadada yang berkenalan dengan orang-orang dari belahan bumi-Nya yang lain. Pertanyaan yang selalu diiringi tatapan takjub, kagum, tak percaya, dan beberapa bahkan terkesan sinis dan merehmekan. Awalnya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuatku tidak nyaman, namun lama-kelamaan menjadi biasa saja, bahkan kerap kali memercik sedikit rasa syukur dalam diriku.  Aku merespon pertanyaan-pertanyaan itu dengan senyum,  sambil berkata dalam hati, “Ya, Saya perempuan Toraja, Muslimah, bukan mu’allaf, dan saya bangga”.
Berislam di Toraja tak ubahnya berislam di negeri-negeri benua biru. Mengajarkan untuk pandai menjaga sikap, mendorong untuk terus mencari cahaya dan menjadi lentera yang menebar kebaikan kepada siapapun, khususnya dibumi Lakipadada, rumah yang telah dengan senang hati melahirkan, membesarkan, dan sebaik-baik tempat pulang untuk mengabdi. Toraja yang memesona, penduduknya hangat, tak sedingin cuacanya  memeluk dan mengalirkan indahnya perbedaan tanpa kecurigaan. Orang-orang Toraja pedesaan yang sempat kutemui  dalam rihlah kebanyakan tak tahu menahu tentang hadist ataupun ayat tentang menjaga persaudaraan, menghindari pertikaian, dan berbuat baik, namun aku belajar tentang hakikat perdamaian dalam kebersahajaan mereka. Toraja telah menumbuhkanku menjadi pribadi yang tak tertarik dengan debat, pertikaian, selau berusaha netral dan tidak memihak. Maka menjadi tumbuh menjadi muslimah di Tana Toraja benar-benar sebuah kado istimewa yang tak pernah kubayangkan dari-Nya, sebaik-baik perencana dan penentu takdir.
            Berislam di bumi minoritas awalnya terkesan demikian sulit. Tahun 2004, di usia 4 tahun, keluargaku pindah ke ibu kota kabupaten Tana Toraja dimana tetangga kami didominasi  oleh masyarakat non-Muslim. Aku mulai merasa berbeda dengan kerudung yang kukenakan setiap safar ke tempat yang jauh. Sepanjang yang dapat diraih oleh ingatanku, kerudung belum banyak digunakan di Toraja saat itu. Alih-alih menggunakan kerudung syar’i, muslimah-muslimah waktu itu bahkan banyak yang tak berkerudung.  Aku yang terlahir dari keluarga muslim yang  cukup taat syari’at sudah dibiasakan menggunakan kerudung sejak kecil. Awalnya, menggunakan kerudung cukup menjadi masalah buatku, mengingat aku termasuk balita yang banyak tanya, bawel, hyper-active, sulit diatur, sehingga mudah gerah. Belum lagi godaan dari teman-teman bermain yang begitu kuat.
            “Kalau pakai jilbab, mana bisa pakai baju princess”, ujar salah-seorang di antara mereka
            “Barbie ngak ada yang pakai jilbab”, ujar yang lain
            “Dora ngak pakai jilbab”, ujarnya lagi
            Menohok dan sungguh membuatku semakin gerah. Aku hanya bisa berusaha bersikap tidak peduli setiap kali menatap mereka, teman-temanku itu  menghadiri acara-acara mengenakan gaun dengan rok lebar bagaikan princess dalam kartun masa kecil kesukaanku. Padahal dalam hati aku berharap agar setidaknya Ayah, Ibu, atau siapapun yang paham menghadiahkanku gaun semacam itu, setidaknya dapat kugunakan untuk bermain, berpura-pura menjadi si cantik Cinderella atau si puteri tidur Aurora di sekitar rumah. Perlahan-lahan keinginan untuk mengenakan baju princess itu akhirnya hilang dengan sendirinya seiring usiaku yang mulai memasuki usia sekolah.
            Ketika menginjak kelas 1 sekolah dasar, aku telah cukup lancar mengeja aksara dan menemukan hobi baru: membaca buku. Aku membaca buku apapun yang kurasa cukup menarik. Melihat minat bacaku yang cukup besar, Ibuku selalu membawakan buku-buku berisi pengetahuan keislaman dari perpustakan madrasah tempat beliau mengajar. Ayah tak ketinggalan, ia membawakan begitu banyak buku-buku siroh nabawiyyah untuk anak-anak dari kantor ataupun dari pondok pesantren, selain itu beliau dengan senang hati membiarkanku membongkar rak buku miliknya, membaca setiap buku yang menarik perhatianku. Kedua orang tuaku cukup sibuk untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali muncul dariku, namun buku-buku dari mereka sudah cukup untuk mengobati keingintahuanku. Aku mulai mengenal Islam lebih jauh, termasuk tentang perkara menutup aurat yang waktu itu menjadi persoalan yang belum mampu kuterima.  Dari buku-buku itu aku perlahan memahami bahwa menutup aurat, mengenakan kerudung adalah salah-satu bentuk penghormatan Islam terhadap perempuan.  Walaupun kemampuanku belum cukup untuk menangkap maksud dari kata “penghormatan”, setidaknya aku mengerti bahwa kerudung yang kukenakan bukanlah sesuatu yang buruk dan harus kupersoalkan hanya karena kepanasan setiap mengenakannya.
            Naik kelas 4 SD, kami sekeluarga pindah ke sebuah kota kecil yang berjarak 12 KM dari kota Makale. Kami tinggal dalam lingkungan Pondok Pesantren Muhammadiyah, yang waktu itu merupakan satu-satunya Pondok Pesantren di Bumi Lakipadada. Aku yang awalnya bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dipindahkan ke Sekolah Dasar Negeri. Bukan tanpa alasan, namun waktu itu aku demikian mesra dengan rumah sakit, sementara jarak dari rumah ke madrasah demikian jauh dan agar tidak terlambat aku harus berangkat menembus udara pagi khas pegunungan yang dingin dan sewaktu-waktu dapat membuatku bersin hingga sesak nafas. Maka dengan terpaksa, aku memasuki sekolah baru dengan lingkungan yang benar-benar berbeda dengan madrasah. Di kelasku, dari kurang lebih 30 siswa, terdapat 6 orang beragama Islam, dan hanya dua orang (termasuk aku) yang mengenakan kerudung. Maka di sekolah itulah, kehidupan sebagai seorang minoritas benar-benar kurasakan.
            Menjadi minoritas sebenarnya tidak begitu buruk. Orang Toraja menjunjung tinggi rasa saling menghormati dan toleransi, sehingga kerudung yang kukenakan tak menjadi penghalang bagiku untuk bergaul dan berteman dengan siapapun. Teman-teman dan guru-guru pun sangat menghargai ibadah-ibadah yang dikerjakan oleh siswa-siswi Muslim. Mereka tak sungkan mengucapkan selamat lebaran, tidak makan atau minum di depan yang berpuasa, mengingatkan waktu sholat dzuhur, dan memberikan izin untuk beribadah di masjid yang tak jauh dari sekolah. Bahkan lapangan sekolahku yang cukup luas itu hingga kini selau menjadi tempat sholat ‘idain bagi kaum muslimin di sekitarnya, sementara di sebelah kanan sekolah terdapat sebuah gereja katolik dan sekitar seratus meter dari sekolah terdapat gereja bagi umat kristiani. Pernah sekali sholat ‘id jatuh pada hari ahad. Maka hari itu, gema takbir bersahut-sahutan dengan denting lonceng gereja. Di tempat lain kekacauan bisa saja terjadi, namun saat itu tak ada keributan sama sekali, setiap orang beribadah dengan khusyuk menyembah Ilah yang mereka yakini, dengan cara yang mereka percayai.
            Sekalipun kebanyakan masyarakat mayoritas menjunjung tinggi toleransi, namun tak dapat dipungkiri tetap ada beberapa dari mereka yang mungkin kurang memahami perbedaan. Tak sedikit pula dari mereka yang kujumpai terkesan membenci dan terang-terangan menghujat. Selama tiga tahun di sekolah umum, aku beberapa kali mengalami tindakan yang kurang mengenakkan hati. Pernah sekali aku ditegur oleh teman karena meletakkan Al-Qur’an yang kubawa untuk pelajaran agama di atas meja. Alasannya karena membuat tidak nyaman. Aku sempat sewot, hendak menyanggah katanya tentang ketidaknyamanan itu, jika memang mengganggu, bagaiman dengan bible yang mereka bawa dan sama-sama diletakkan di atas meja. Niatku yang terkesan “rusuh” itu kuurungkan, namun Al-Qur’anku  kubiarkan bersingsana di susunan teratas buku-buku di atas mejaku, tak kupindahkan. Aku tak peduli dengan ketidaknyamanannya itu, toh baru dia yang tidak nyaman, dari tiga puluh lebih penduduk kelas. Aku pun kerap kali diledek “ninja” oleh kakak-kakak kelas, hanya karena kerudung yang kukenakan. Padahal aku sendiri tak proporsional disebut ninja dengan badan pendek, gemuk, dan kaku minta ampun.  Ledekan mereka yang terlontar tiap kali melihatku cukup mengganggu dan membuatku berangan-angan benar-benar menjadi ninja secara harfiah sehingga dapat melawan siapa saja yang menggangguku. Jika benar itu terjadi, merekalah yang pertama kali terkena rasenggan-ku. Setelah sekian kali diledek dan emosi (namun tidak kuluapkan), aku mulai terbiasa dan mencoba memahami bahwa mereka  berperilaku demikian karena mereka belum tahu hakikatnya. Terkadang manusia akan menghujat sebagaimana yang mereka lihat tanpa mencerna dan memahami esensi dari segala sesuatu. Bahkan setelah lulus dari sekolah dasar, dan resmi berstatus santriyah, aku menyadari bahwa segala yang terjadi di masa kanak-kanak belum seberapa dengan yang akan dihadapi kedepannya.
*
 Semburat Surya di Bumi Lakipadada...
            Setelah resmi menjadi Santriyah di Pondok Pesantren Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja yang waktu itu menjadi satu-satunya pondok pesantren di bumi Lakipadada, aku memasuki babak baru dalam hidup. Pelajaran di pondok hingga saat ini merupakan pelajaran yang paling membekas dan memberi makna tersendiri bagi kehidupan. Ada begitu banyak hal tentang pondok yang membuatku jatuh hati.
Ketika memasuki Forum Ta’aruf Santri Baru, semacam MOS di sekolah lain, aku mulai mengenal lebih jauh tentang pondok pesantren yang didirikan tahun 1990 itu, dan aku mengenal lebih jauh tentang organisasi berlambang matahari yang menaungi pondokku; Muhammadiyah.  Gerakan Islam, Gerakan Dakwah, dan Gerakan Tajdid, yang dibentuk berdasarkan  perintah amar ma’ruf nahi mungkar dalam surah Ali-Imran dan kekhawatiran pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan terhadap kondisi masyarakat disekitarnya,sebuah organisasi yang mencipatakan pembaharu-pembaharu, pembawa cahaya sang surya ke setiap sudut nusantara.  Hingga ahirnya cahaya itu hadir,semburat diantara gemawan kejahiliyaan di pegunungan barat Sulawesi Selatan, di bumi Toraja, di antara celah-celah tebing batu, tempat peristirahatan terakhir mereka yang datang dan pergi dari tiap generasi.  Muhammadiyah yang mendirikan sekolah pribumi pertama pada tahun 1935 berkembang pesat di bumi Lakipadada hingga saat ini, aktif mencetak kader agama, kader bangsa, dan kader persyarikatan.
Aku jatuh hati pada muhammadiyah, dan tak butuh waktu lama untuk menjadikan pelajaran Al-Islam Kemuhammadiyahan sebagai pelajaran favoritku. Aku pun mulai mengenal organisasi otonom seperti Tapak Suci dan Kepanduan hizbul wathan, yang merupakan ekskul wajib di pondok. Juga Aisyiah, dimana Ibuku aktif sebagai salah-satu pengurus cabang, kemudian Nasyi’atul Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan yang paling menarik perhatianku: Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Aku telah familiar dengan kata IPM, tak lain karena kakak kandung, dan kakak-kakak sepupuku adalah kader-kader IPM yang tergolong aktif pada masanya. Ber-IPM membentuk mereka menjadi sosok yang luar biasa, terampil berbicara, luas wawasan, luas pergaulan, nge-hits dan seringkali mengikuti kegiatan di luar pondok. Aku adalah sosok yang  tak suka diam dan terkurung di lingkungan pondok yang itu-itu saja, telah merencanakan dengan matang agar dapat turut dalam kegiatan IPM, dengan begitu aku dapat keluar pondok dengan leluasa. Kuakui niat semacam ini tak patut dicontoh namun itulah faktanya.
Selain itu, IPM terkenal di pondok dengan PKTM yang konon kabarnya sangat keras, menyeramkan dan dihiasi dengan kejadian-kejadian supranatural berdasarkan cerita-cerita senior yang membuat kami, junior, dengan lugunya percaya dan bergidik ngeri. Setalah mendengar bualan-bualan dari berbagai sumber, aku mengurungkan niatku untuk menjadi pengurus IPM. “Bodoh amat lah enam tahun karatan di pondok”, pikirku waktu itu, yang penting  hidupku tenang. Namun sayangnya, mengikuti PKTM adalah sebuah keharusan bagi santri-santriyah pondok, dan merupakan syarat mutlak mengambil ijazah. Maka heboh-lah para santri baru mengetahui hal itu.
Setelah berdiskusi dengan teman-teman dekatku, kami akhirnya memutuskan untuk ikut perkaderan setelah penerimaan raport di semester 2. Dan benar saja, setelah penerimaan raport, menjelang ramadhan tahun 2013, pendaftaran PKTM 1 di pondok kami mulai dibuka. Aku termasuk yang paling awal mendaftar, diikuti teman-temanku yang lain. Waktu itu niat kami hanya sebatas memenuhi kewajiban, maka PKTM 1-ku terasa demikian hambar, bagai malam bay’at tanpa palu sidang, tidak bermakna. Yang kuperoleh hanya 40% pengetahuan baru, selebihnya hanya kantuk, lelah,lapar, games yang bisa dipraktekkan di kelas jika liburan lebaran usai, juga pengalaman mental karena nyaris tiap hari mendapati sesama peserta yang kerasukan ataupun pura-pura kerasukan.
PKTM 1-ku benar-benar tak berbekas banyak. Aku tetaplah sosok yang masa bodoh dan hobi makan. Setelah musyran aku terpilih menjadi sekretaris dua di jajaran pengurus ranting. Aku haqqul yaqin, santri-santriyah memilihku karena berpikir aku sama bagusnya dengan kakak dan sepupu-sepupuku dalam mengurus organisasi. Tak semudah itu, Ferguso! . Aku masa bodoh dengan jabatanku, karena sebagai seorang sekretaris dua, masih ada sekretaris satu yang mengerjakan semuanya, aku hanya membantu stempel dan melipat surat, itupun tidak becus.  Maka satu tahun jabatanku berlalu tanpa ada program yang berarti. Di musyran berikutnya,entah mengapa aku terpilih lagi menjadi Ketua Bidang PIP, dan kejadian yang sama terulang, aku masih cuek luar biasa dengan jabatan yang diamanahkan kepadaku.
Akhirnya, PKTM 2 lah yang membuatku berubah dan memahami betapa jabatan yang diamanahkan bukan hanya tentang diri sendiri yang memimpin, namun juga tentang mereka yang dipimpin. IPM adalah anak dari Muhammadiyah, yang kader-kadernya diharapkan menjadi contoh teladan bagi sesamanya generasi muslim, menjadi pejuang yang menjalankan roda pergerakan untuk meraih cita-cita persyarikatan, dan cita-cita mulia mengembalikan kaum muslimin menjadi “khayra ummah” yang sebenar-benarnya.
Aku mengikuti PKTM 2 , di bulan Ramadhan tahun 2015. Materi-materi PKTM 2 memang lebih berat dari PKTM 1, namun untuk alasan yang tak kuketahui, justru dapat kupahami dan benar-benar merasuk ke hati. Malam yang paling berkesan adalah ketika materi Tauhid dibawakan, dan pemateri malam itu tak henti-hentinya membahas tentang penderitaan kaum muslimin, dan harga diri mereka yang terinjak di berbagai belahan dunia, belum lagi rasisme dan islamophobia, mengingat semua itu cukup mengiris hatiku. Umat Islam lemah karena kehilangan predikat umat terbaik, dan predikat itu hilang bukan karena dicuri, namun ditanggalkan oleh kaum muslimin sendiri. Identitas dan nilai-nilai keislaman telah diabaikan, syari’at tak dihiraukan, dan tauhid tak lagi di anggap urgen, dengan semua itu umat islam tersesat, terpecah-pecah, dan dengan mudahnya ditindas, dan kejayaan masa lampau hanya bersisa kenangan.
Selain ketauhidan, ideologi kemuhammadiyahaan cukup membuatku sadar dan mulai tergerak untuk lebih peduli terhadap dakwah dan kondisi umat yang memprihatinkan. Semangatku untuk menjadi bagian dari pembawa semburat surya yang telah hilang, perlahan-lahan muncul kembali. Aku pun belajar untuk lebih banyak membaca buku-buku keislaman, menggunakan kerudung yang lebih panjang, berusaha bersikap baik kepada siapapun, sekalipun tanpa podium, aku dapat melakukan dakwah bil hal, melalui perilaku-perilaku baik.
Setelah belajar lebih banyak, dan akhirnya mengetahui lebih dalam tentang dalil dari segala sesuatu yang disyari’atkan, dari ibadah sholat, puasa, zakat, menutup aurat, membaca Al-Qur’an, dan amalan lainnya, ujian untuk melaksanakannya terasa lebih berat.  Ternyata muncul begitu banyak tekanan, hujatan, dan tuduhan, bukan hanya dari mereka yang memiliki kepercayaan yang berbeda, namun juga dari mereka yang sama-sama bersujud dua kali dalam tujuh belas raka’at sholat wajib sehari-semalam. Pernah kudapati sesama muslim yang justru menghujat kerudung panjang yang katanya melebih-lebihkan kain, yang berjenggot diledek mirip kambing, yang berniqab disebut pencuri ayam  dan banyak lagi. Yang kerap kali menyayat hati adalah kalimat yang paling sering kutemui tiap kali menghadiri acara takziyah, “Dari Pesantren dek?, Kalau dari Pesantren berarti Muhamammadiyah, Muhammadiyah tidak boleh makan atau minum di pesta kematian”, atau, “Kenapa tidak diminum dek airnya, Muhammadiyah yah?”, menanggapi pertanyaan semacam itu kerap kali membuatku kebingungan, galau, dan hanya bisa istigfar dalam hati. Di saat yang sama, juga menumbuhkan kepedulian yang lebih besar kepada umat.
Tak sedikit muslim di Tana Toraja yang pemikirannya masih konservatif dan memegang teguh adat yang tak sesuai syari’at. Selain pemikiran, ketakutan untuk dikucilkan, ataupun tidak dianggap di lingkungan keluarga maupun sosial jika tak mengikuti aturan adat yang ada menjadi faktor mengapa upaya tajdid dalam masyarakat menjadi demikian sulit. Betapa masyarakat muslim di bumi Lakipadada masih butuh pehamaman yang lebih dalam tentang Islam.  Semoga intensitas dan semangat dakwah muballigh muballighah yang berjuang memperbaiki umat islam senantiasa menggebu dan semburat sinar surya tak pernah berhenti  membagi cahaya kepada mereka yang butuh dan rindu pada cahaya ilahiyah di Bumi Lakipadada, dan semoga  kelak diri ini  dapat mengabdi, berdakwah melalui profesi, dan turut menjadi lentera pada tanah kelahiran tercinta aamiin.
*

           
Üsküsdar’a Gideriken, On the way to “my dr.eams”...
Untuk lebih jelasnya, perjalananku di IPM, dimulai sejak mengikuti PKTM 1, sekalipun tak begitu membekas, ada beberapa hal yang  cukup bermakna yang terjadi dalam rentang waktu lima hari itu.  Bagian yang paling kusukai dari PKTM 1 adalah games dan lagu  IPM. Sekalipun aku cukup kaku tiap mengikuti games baik yang indoor maupun outdoor, segalanya terasa menyenangkan karena hanya pada saat games peserta dapat  tertawa sekeras mungkin, melampiaskan beban belajar semalam suntuk. Aku pun menyukai lagu IPM bukan karena suaraku layak disebut merdu, namun moment ketika seruangan bernyanyi bersama merupakan kesempatan untuk berteriak dan mengeluarkan suara seindah kaleng sarden karatan tanpa malu-malu. Selain itu, lagu IPM memiliki syair yang cukup menyentuh dan masuk ke hati. Lagu IPM favoritku hingga kini adalah lagu Sang Surya dan Renungan Kader, liriknya merasuk ke hatiku seolah bercerita tentang pejuang dan pembaharu Islam dari masa lampau, menjadi motivasi untuk belajar dan belajar, hingga cukup mumpuni untuk turut membangun umat.
            Selain itu, ada sebuah lagu unik yang awalnya sempat membuatku tak dapat menahan tawa, dan fasilitator saat itu lupa memberitahukan judulnya, hingga saat ini tak akupun tak tahu judulnya apa. Syair lagu itu membuatku terheran-heran karena entah diserap dari bahasa apa, dan kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Konon kabarnya berasal dari bahasa Jawa kuno, aku tak langsung percaya, karena syair yang ditangkap telingaku menjadi bahasa yang asing jika ditulis:
            “Uskudara gederiken algedebir samur 2x
hatibimmen sitereseusun eldedebir samur
Sungguh enak mengikuti PK IPM 2x
Makan,minum,tidur, dikurangi, perut keroncongan”, Demikian yang dapat kutangkap dari suara fasilitator malam itu. Aku bertanya-tanya kenapa syairnya demikian ganjil dan terkesan maksa. Lagipula aku tak percaya bahasa Jawa Kuno akan seaneh itu. Yang kupahami  berdasarkan letak kata dari syairnya, kata  IPM dalam bahasa aneh itu disebut “samur”. Aneh sekali.
Beberapa tahun kemudian, aku secara tidak sengaja mengetahui bahwa bahasa yang kuanggap aneh itu adalah bahasa Turki. Dua bait pertama dalam lagu tersebut adalah potongan syair dari sebuah folk song Turki yang telah populer sejak dinasti Utsmani berkuasa. Lagu itu bercerita tentang perjalanan seorang wanita bersama seorang katip (semacam sekretaris) yang bekerja padanya. Secara tak langsung, lagu ini diciptakan untuk menghargai posisi sekretaris yang dianggap sangat penting dalam sebuah perusahaan, organisasi, dan instansi kenegaraan kebudayaan Utsmani. Dua syair yang “diklaim” sebagai bahasa Jawa Kuno itu sesungguhnya berbunyi :
Üsküdar'a gider iken aldı da bir yağmur. Kâtibimin setresi uzun, eteği çamur.”
Cara bacanya kurang lebih:
“eskudara gideriken alde da bir yaamur, kyatibimin setresi uzun, eteyi camur”.
Dan syair itu berarti
 “Dalam perjalanan ke Uskudar, hujan turun, mantel terusan katib-ku panjang dan roknya berlumpur”.
 Tak ada kaitannya sama sekali dengan IPM dan tak ada kata yang menyinggung IPM dalam syair itu, maka secara tidak langsung aku merasa telah terjadi pembohongan publik saat lagu itu dinyanyikan pada perkaderan kami. Untungnya, pada perkaderan-perkaderan selanjutnya tak kujumpai lagu tersebut dinyanyikan lagi di forum. Aku sebenarnya cukup penasaran dengan asal-usul lagu tersebut dinyanyikan di perkaderan IPM, namun belum ada sumber yang pasti dan tak cukup waktu buatku untuk meneliti asal-usul lagu itu.  Sekalipun aku sempat menganggap lagu itu sebagai bentuk plagiat, namun aku dapat mengambil sisi positif bahwa secara tidak langsung IPM membuatku lebih semangat dalam mempelajari Bahasa Turki dan memperjuangkan azzam untuk menapaki jejak-jejak peradaban Islam di Bumi Utsmani suatu saat nanti, Inshaa Allah.
Selain itu kata “Uskudar’a Gideriken” yang berarti dalam perjalanan menuju Uskudar. Uskudar yang dahulu disebut Skutari merupakan distrik terbesar dan mempesona di Kota Istanbul bagian Asia. Dihuni oleh tujuh belas juta lebih penduduk namun suasananya demikian tenang, dengan bangunan-bangunan tua saksi sejarah yang disirami kilau keemasan oleh senja di negeri dua benua yang dapa menghipnotis siapa saja. Uskudar bagaikan surga yang selalu menjadi impian kebanyakan pelancong yang berkunjung ke Turki. Maka kata  “perjalanan ke Uskudar” dapat kumaknai sebagai perjalanan meraih mimpi. Bagian terindah dalam perjalanan menuju mimpi bukanlah tentang hasil ketika mimpi itu diraih, namun pengalaman-pengalaman dan orang-orang hebat yang ditemui dalam perjalanan itu. Kisah-kisah yang mengalir selama ber-IPM merupakan bagian dari perjalananku ke Uskudar, perlajananku menuju impian dan azzam.
Perjalanaku di IPM mematri cukup banyak warna-warni dalam perjalanan hidup. Dimulai dari PKTM 1. Selain insiden lagu Turki itu, di PKTM 1 aku belajar untuk berani berpendapat dan berbeda pendapat dengan lawan bicaraku. Aku belajar membedakan diskusi dan debat yang di kemudian hari membuatku tersadar betapa banyak orang-orang hebat yang tak dapat membedakan keduanya. Ada beberapa materi yang cukup berkesan. Salah-satunya materi tentang study tokoh yang dibawakan oleh tokoh muhammadiyah yang demikian senior dan tersohor di Tana Toraja, Bapak Drs. Syamsuddin Paisal. Beliau yang sudah cukup berumur begitu berapi-api menceritakan kisah hidupnya dan menyinggung masuknya Muhammadiyah, bahkan sedikit tentang awal-mula masuknya Islam ke Bumi Lakipadada. Dari penuturan beliau aku cukup terkesan dengan kisah-kisah pembaharu Islam yang pertama kali membawa cahaya ilahiyah masuk ke Toraja sekitar abad ke 18, sebagian merupakan pendatang dari Suku Bugis, dan rupanya  banyak pula penduduk asli Toraja yang turut serta dalam dakwah Islam di bumi Lakipadada. Pada tahun 1935 Muhammadiyah Cabang Palopo hadir membawa semangat pencerahan dan membuka sekolah pribumi pertama di Rantepao. Mereka mendatangkan Guru dari Sumatera dan Mandar, dan menerima baik Muslim maupun Non-Muslim untuk belajar disana. Sekolah yang  tak hanya mencetak cendekiawan muslim, namun juga para pejuang kemerdekaan dari Bumi Lakipadada.
Materi yang paling menarik selanjutnya adalah materi yang dibawakan oleh Ayahanda Herman Tahir, salah-satu tokoh Muhammadiyah dan kini tengah menjabat sebagai kepala sekolah di SMPN 1 Tana Toraja. Beliau memaparkan tentang pengalaman beliau selama  belajar di Negeri Paman Sam, berikut tentang kondisi umat Islam dan penyebab kemundurannya. Beliau adalah sosok yang pertama kali membuka mataku bahwa Islam merupakan agama yang mengajak penganutnya untuk menjadi kaum terpelajar dan beradab. Wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk membaca, bukan untuk sholat, puasa, apalagi berperang. Kata-kata yang beliau sampaikan menjadi pendorong untuk belajar dan belajar lebih keras agar dapat  menjadi sosok cendekiawan yang meluruskan perspektif penderita Islamophobia, dan lebih dari itu, turut serta mencerdaskan umat. Beliaupun sempat menyinggung tentang perkembangan Muhammadiyah di Tana Toraja. Tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh serta pembangunan sekolah pribumi pertama di bumi Lakipadada yang dipelopori oleh Muhammadiyah. Di kemudian hari, alumni dari sekolah tersebut turut serta dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sebagian  pejuang yang berhasil selamat dan menikmati kemerdekaan akhirnya menjadi saksi sejarah, namun sebagian lagi akhirnya diasingkan, dipenjara, syahid di medan perang, dan nama-nama mereka di abadikan sebagai nama-nama jalan di Tana Toraja. Seperti  Jalan Ichwan, dan Jalan Musa, jalan dimana  Pusat Dakwah Muhammadiyah Tana Toraja, rumah kedua putera-puteri muhammadiyah berdiri kokoh. Beliau menuturkan bahwa Musa yang merupakan pejuang muslim dan tokoh muhammadiyah itu akhirnya dieksekusi tembak di Lapangan Makale yang tak jauh dari jalan dimana namanya kini diabadikan.
Selanjutnya, di PKTM 1 lah aku akhirnya mengenal “Fiqhun Nisaa’”.  Rupanya ada fiqh khusus untuk membahas segala sesuatu yang berkaitan tentang wanita. Mulai dari cara berpakaian, membersihkan diri, pergaulan, dan lain sebagainya. Fiqhun Nisaa’ hingga saat ini menjadi cabang Ilmu Fiqh kesukaanku.
Lebih dari itu pengenalan lebih detail tentang Muhammadiyah, IPM, dan berorganisasi telah memberikan dasar yang cukup kuat buatku untuk mengenal organisasi-organisasi yang  akhirnya mendidik dan membesarkan. Setelah PKTM 1, sebagai mana yang telah kusebutkan, aku menduduki beberapa jabatan penting di Pimpinan Ranting  Pondok Pesantren Muhammadiyah Tana Toraja. Saat terpilih menjadi sekretaris sekalipun bukan sekretaris utama aku belajar cukup banyak tentang penomoran surat yang sebelumnya terkesan rumit, setelah itu aku terbiasa menjadi sekretaris panitia di beberapa kegiatan baik dalam lingkup IPM maupun dalam cakupan yang lebih luas.
Setelah menyandang status kader, aku mulai turut serta dalam kepanitiaan perkaderan, sekalipun tugasku pada masa-masa awal menyandang status kader hanya bertahta manis di bagian perdapuran, aku cukup bersyukur. Melalui kepanitian PKTM 1  pada masa-masa awal menjadi kader aku belajar dari senior-senior tentang cara mengulek bumbu, memotong sayuran, hingga memasak beberapa macam lauk, yang sejujurnya tak kudapatkan jika hanya tinggal di rumah dan membantu ibu hanya sebatas dengan mencuci piring kotor atau membersihkan rumah. IPM secara tak langsung turut serta “memperempuankan”-ku yang awalnya cukup sulit diatur  dan lumayan “maskulin”.
Setelah dua tahun  menyandang status kader, walaupun kekaderannya masih dipertanyakan karena hanya muncul saat PKTM, itupun berdomisili di dapur, entah ilham apa yang masuk dalam diriku hingga ku memutuskan ikut PKTM 2. Setelah PKTM 2 selain merasa “terlahir kembali”,  aku akhirnya lebih diperhitungkan dalam susunan panitia , bahkan menjadi fasilitator di PKTM-PKTM selanjutnya.
            Ketika memasuki forum PKTM 2 pada bulan Ramadhan 2015, aku termasuk salah-satu peserta termuda. Aku cukup terbiasa bergaul dengan senior sehingga menjadi satu-satunya santriyah dari angkatanku yang ikut PKTM 2 pada saat itu bukanlah masalah. Materi di PKTM 2 mengajakku berpikir lebih kritis, dan mandiri. Berbeda dengan TM 1 dimana segalanya hanya berisi tekanan demi tekanan, PKTM2 memberikan sedikit keleluasaan bagi pesertanya. Tak ada lagi palu sidang yang diketuk untuk membangunkan peserta, karena semua peserta aktif berbicara dan saling bertukar pendapat. Tak ada lagi suara kerasukan yang merisaukan di tengah-tengah kegiatan. Forum terasa lebih beradab dan ilmiah. Aku menyukai suasana belajar seperti itu, mungkin karena itulah materi di PKTM 2 sangat berkesan dan sukses merubahku menjadi lebih bersemangat dalam ber-IPM dan ber-Muhammadiyah.
            Materi yang paling berkesan selama PKTM2 sebagaimana telah kusinggung sebelumnya, Tauhidullah, Ideologi IPM, Ideologi Muhammadiyah , serta materi tentang Firqah-Firqah dan Madzhab. Keseluruhan materi itu mengajakku berpikir  lebih terbuka,  lebih peduli terharap kondisi umat, dan tidak kolot dalam menilai perspektif orang lain. Lebih dari itu, hal paling istimewa dari PKTM2 kami adalah datangnya tamu khusus yang memberikan semacam kuliah umum di forum. Beliau merupakan Ibunda yang menjabat di Pimpinan Wilayah Aisyah Sulawesi Selatan, dan merupakan alumni dari Universitas Al-Azhar , Mesir. Beliau memperkenalkan diri sebagai Ibu Nurnaningsih, dan dalam materi yang dipaparkannya beliau bercerita tentang pengalamannya selama di Mesir, kiat-kiat yang beliau lakukan untuk mempersiapkan diri mendaftar ke salah-satu universitas tertua di dunia itu, serta motivasi-motivasi untuk tidak menyerah dan bagaimana seharusnya kader Muhamammadiyah memperjuangkan cita-cita untuk menuntut ilmu hingga ke berbagai belahan bumi, namun senantiasa mawas diri dan rendah hati. Pesan beliau yang hingga kini masih teringat adalah pesan untuk senantiasa menjaga wudhu dan  menggunakan waktu untuk membaca buku-buku dan belajar bahasa.
            Selain materi yang menarik, selama PKTM 2 , yang paling berkesan tentu saja diskusi antar kelompok yang sekalipun kerap berakhir rusuh, namun melatih diri untuk berpikir kritis secara cermat dan tepat. Juga melatih kemampuan berbicara secara baik, benar, berdasarkan fakta dan dalil, juga sistematis. Aku mulai belajar mengeluarkan pendapat seperlunya dalam tiap diskusi. Sekalipun nyaris semua peserta berusia lebih tua, dan kebanyakan adalah senior-senior di pondokku, namun mereka tetap menyimak setiap pendapatku dengan sekasama, menanggapi, memberi masukan dan saran. Diskusi-diskusi bahkan kerap kali berlangsung hingga larut malam, namun tak ada yang mengeluh, tak ada yang protes sekalipun keesokan hari semua peserta akan masuk ke forum dengan mata sehitam panda dengan langkah terkantuk-kantuk. Namun semangat untuk belajar dan berdiskusi terbukti dapat mengalahkan kantuk. Memasuki forum dan diberi kesempatan berdiskusi membuat mata menjadi melek seketika, mendengarkan pendapat orang lain, sembari menyusuri lembaran Al-Qur’an dan buku-buku berisi hadist sesuai dengan topik yang dibicarakan. Ilmiah, beradab, dan menyenangkan. Tiga kata itu cukup mewakili forum PKTM2 ku saat itu. Hingga kini, aku merindukan suasana forum seperti itu, namun tak pernah  lagi kutemui forum dengan atmosfir yang sama.
            Setelah mengikuti PKTM 2, aku menjelma menjadi lebih kritis, dan membiasakan diri berbicara berdasarkan fakta, dan lebih dari itu bagian yang paling kusukai adalah aku berusaha menutup aurat sebagaimana mestinya, mengenakan kerudung yang tak tembus pandang, membiarkan kainnya terurai panjang hingga perut, menutupi yang seharusnya ditutupi. Tak seperti sebelumnya, dimana aku kerap kali mengenakan kerudung sekenanya, pendek, tembus pandang, hingga rambut kusut se-ikat pun terekspos dengan mudahnya. Aku pun belajar mengenakan kaos kaki ketika keluar rumah, karena dalam suatu diskusi seorang senior menyinggung kaki sebagai salah-satu aurat yang kerap dilupakan oleh muslimah.
            Sekitar bulan Agustus 2015, setelah PKTM2, aku terpilih untuk masuk kedalam jajaran Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Tana Toraja. Aku menjabat sebagai Ketua Bidang PIP. Pergaulanku menjadi semakin luas dan kegiatanku menjadi bertambah banyak. Aku kerap kali menghadiri rapat di Pusdam, dan beberapa kali ikut dalam kegiatan yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Aku mengikuti kegiatan study budaya yang pada saat itu dilaksanakan di Toraja Utara. Dalam kegiatan itu, aku belajar dan mengenal budaya dari daerah lain, hingga daerahku sendiri.  Aku pun sempat mengikuti Pelatihan Advokasi di Hotel Grand Aulia Makasar. Aku yang tertarik dengan dunia jurnalistik begitu antusias mengikuti materi teknik reportasi dalam kegiatan itu. Pematerinya pun melakukan semacam lomba menulis berita, dan berita yang kutulis termasuk kedalam tulisan paling bagus menurut sang pemateri. Pematerinya pun memberikan oleh-oleh berupa buku antalogi essai kepada tiga penulis berita terbaik termasuk diriku. Dalam kegiatan Pelatihan Advokasi pun, aku bersama beberapa peserta yang lain mengunjungi sebuah lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang advokasi terhadap anak-anak. Benar-benar sebuah pengalaman yang menyenangkan dan mengajakku untuk lebih peduli terhadap kondisi anak-anak yang harus berurusan dengan hukum baik secara sengaja ataupun tidak.
            Setelah masuk ke jajaran pimpinan daerah, posisiku dalam kepanitiaan di PKTM pun tak lagi sebatas panitia bagian perdapuran. Aku mulai terpilih menjadi sekretaris panitia bahkan fasilitator. Aku pun kerap kali diberi kesempatan mengisi materi seperti Motivasi Belajar , Sirah Nabawiyyah, dan Fiqhun Nisaa’ jika pematerinya berhalangan. Awalnya tugas-tugas itu terasa demikian berat. Ketika pertama kali menjadi sekretaris panitia, aku sempat kerja lembur mengurus persuratan hingga pendaftaran peserta mulai dibuka. Setelah pendaftaran dibuka akupun sempat lumayan tertekan dengan pesan-pesan melalui sosial media dari peserta yang telah mengambil formulir dan meminta perpanjangan deadline pengembalian formulir, bahkan pernah ada yang menghubungiku meminta penurunan SWP, padahal masalah SWP bukan bidangku.  Pengalaman pertamaku membawakan materi boleh dikata lumayan, karena setelah pengisian angket setengah dari peserta menulis namaku dalam jajaran pemateri favorit. Sekalipun setengahnya lagi menghujatku tanpa perasaan sebagai pemateri yang sulit dipahami karena berbicara terlalu cepat. Tak masalah, setidaknya ada beberapa yang menjadikanku sebagai pemateri favorit sekalipun bisa saja mereka menulisnya karena segan, takut, atau karena mereka dipaksa adikku yang saat itu kebetulan turut menjadi peserta.
Setelah menyelesaikan periode kepemimpinan pertamaku di Pimpinan Daerah, menjelang Musyda 2017, aku sempat menolak untuk menjabat lagi di pimpinan daerah, dengan alasan ingin fokus belajar mempersiapkan Ujian Nasional SMA yang dipercepat. Namun akhirnya, mengiyakan untuk mengisi jabatan Ketua Bidang Ipmawati yang kosong. Sebenarnya aku tak layak menduduki jabatan itu karena kebanyakan yang pernah mengisi jabatan itu adalah akhwat-akhwat feminim, dewasa, paham agama,anggun, kalem, sopan, benar-benar calon Istri idaman. Sementara aku masih sulit meninggalkam sifat kekakanak-kanakan, kadang ribut, pemahaman agama dibawah standar dan cenderung “rusuh”. Entah pertimbangan apa yang membuat teman-teman pimpinan daerah menawariku pada posisi itu,  dan anehnya aku menerimanya seolah tak tahu diri.
Menjelang pelantikan aku sempat tak bisa tidur memikirkan jabatan yang entah dapat kupertanggung jawabkan atau tidak. Aku pun akhirnya berusaha mengumpulkan semangat dan berusaha memperbaiki niat untuk menjalankan amanah yang akan kuemban. Bagaimanapun setiap kita akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Sejujurnya aku merinding tiap kali mengingat hadist yang menyinggung kepemimpinan itu.
Setelah resmi dilantik, aku tak banyak mengikuti kegiatan di luar daerah, selain karena kesibukan menyelesaikan pendidikan dan persiapan memasuki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, aku hanya berusaha melaksanakan kajian IPMawati, di sela-sela kesibukan. Setelah resmi bergelar mahasiswa, tak banyak program yang bisa berjalan karena domisili yang telah berbeda, namun aku masih sempat menghadiri kegiatan KaPeKa di Kabupaten Sinjai beberapa waktu yang lalu. Dan akhirnya di antara sekian program yang hendak diwujudkan, proyek Pena Perempuan-lah yang paling mungkin diselesaikan. Dengan ini, aku berusaha menyelesaikan amanah organisasi dengan baik, tanpa harus mengabaikan amanah orang tua untuk fokus mengejar cita-cita di tanah rantau.
Ada begitu banyak pengalaman istimewa selama menjadi kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah, tak ‘kan cukup untuk dituliskan dengan detail satu demi satu.  Dalam perjalanan itu banyak pula sosok-sosok hebat yang menginspirasiku untuk tetap semangat bermuhammadiyah dan ber-IPM. Mulai dari Mudier Pondok Pesantrenku, Ayahanda KH.A. Zainal Muttaqien, M.Pd. yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tana Toraja. Paman dan Bibi sekaligus guru tercinta, Ayahanda Sudirman, S.Pd., M.Pd. dan Istri Beliau, Ibunda Darmawati, S.Pd., M.Pd. juga  ustadz-ustadzan di Pondok Pesantren, serta tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Aisyiah juga teman-teman dan senior-senior di Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dan yang paling berpengaruh, tentu saja Ibunda dan Ayahanda tercinta, Erni S.Pd, dan Drs. Muhammad Yasim, dua sosok hebat yang selalu menjadi motivator terbaik, melahirkan,mendidik,membesarkan, menempatkan putra-putrinya di lingkungan yang baik serta begitu banyak mengajarkan arti perjuangan dan keikhlasan.  Mereka adalah sosok-sosok istimewa, semangat mereka terus menginspirasi untuk tetap turut serta dalam membangun masyarakat Islam di Bumi Lakipadada.
*
Teruntuk Ikatanku, Teruntuk Saudariku...
 Karena telah memberi begitu banyak kejutan dalam hidup, aku ingin menghaturkan beribu terima kasih kepada organisasi yang telah mendidik dan menerimaku sebagai salah-satu dari jutaan kader yang tersebar di berbagai belahan bumi-Nya. Terima kasih telah menjadi teman dalam perjalanan hijrah dan menemukan jati diri.  Terima kasih telah membawa diri ini menemui pengalaman-pengalaman tak terduga dan menjadi wadah untuk menjalin ukhuwah dengan sosok-sosok hebat. Semoga Ikatan Pelajar Muhammadiyah tetap eksis dan menginspirasi lebih banyak pelajar Nusantara untuk berislam dan ber-muhammadiyah. Lebih dari itu semoga tetap menjadi wadah untuk menciptakan kader-kader yang cerdik cendekia , generasi unggulan yang mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Tetaplah jaya, tetaplah menjadi penyebar semburat surya bagi siapapun yang membutuhkan cahaya.
            Sekali lagi , terima kasih jua karena ikatan ini pun telah “memperempuan”-kanku.  Selama ber-IPM aku belajar banyak hal yang membuatku demikian bangga menjadi perempuan. Aku pun bertemu dengan perempuan-perempuan hebat yang turut berperan dalam masyarakat tanpah harus meninggalkan kodratnya. Di IPM jualah aku mengenal Aisyah dan Nasyi’atul Aisyiah, organisasi otonom khusus wanita yang dari kegiatan-kegiatannya aku belajar betapa pentingnya perempuan diberdayakan. Karena perempuan yang penciptaannya demikian istimewa, merupakan aset terbesar bagi bangsa dan agama. Merekalah madrasatul ula, sekolah pertama bagi generasi, maka mereka harus di didik sebaik-baiknya.
            Maka teruntuk saudariku, belajarlah, tuntutlah ilmu, kejarlah mimpi demi mimpi, jelajahilah setiap tempat di bumi. Jadilah kuat, jadi diri sendiri, dan jangan pernah bergantung kepada siapapun baik dalam hal opini ataupun materi. Melangkalah sejauhmu, namun jangan pernah lupa kodratmu. Wanita harus berpendidikan tinggi, bukan untuk menyaingi lelaki, melainkan untuk mendidik generasi, karena sesungguhnya tangan lelaki hanya membangun peradaban, dan tangan wanita selain sebagai sebaik-baik rumah tempat pulang, ia jualah yang membesarkan peradaban.
            Akhirnya, untuk setiap mereka yang telah berkenan membaca bait demi bait kisah ini, mari tetap teguh pada prinsip fastabiqul khayrat, tetaplah menjadi penebar kebaikan, kepada siapapun, kapanpun, di sudut manapun di bumi. Be the change you wish to see in the world. Jadilah bagian dari perubahan yang kau harap dapat terjadi di dunia yang semakin sesak oleh kebencian dan kemaksiatan ini. Dan ingatlah bahwa hidup adalah rihlah, untuk mengumpulkan kebaikan demi kebaikan untuk kembali kepada-Nya, menuju kehidupan yang hakiki.
Hidup bukanlah kompetisi
Melainkan sebuah perjalanan untuk dinikmati
Berjalanlah sejauh yang mampu ditapaki
Kumpulkan cahaya di setiap sudut bumi
Dan menulislah, karena setiap detik rihlah ini
Adalah kisah yang manis untuk dibagi.

Komentar

Postingan Populer