Turkiye'de Sevgi Var

نقل فؤادك حيث شئت من الهوى
ما الحب إلا للحبيب الأول
كم منزل في الأرض يألفه الفتى
وحنينه أبدا لأول منزل
(Dalam cinta), bawalah hatimu kemana kau suka
(Sesungguhnya) tak ada cinta (yang hakiki)melainkan untuk kekasih yang pertama...
Betapa banyak rumah di bumi ini yang disinggahi pemuda
Namun rindunya selalu pada rumah yang pertama....
-Abu Tamam-
.
Malam merengkuh peluh dan lelah hari itu, seperti selalu kelamnya misterius namun membawa sepercik galau dan setetes rindu. Aku galau lagi untuk alasan yang aku sendiri tak tahu.  Ku putuskan untuk beranjak ke peraduan secepatnya, namun mataku pun tak mampu terlelap. Beberapa saat kemudian, gawaiku berdering, sebuah pesan whatsapp masuk, hanya group chat. Kuputuskan mengotak-atik gawai untuk membunuh waktu sembari menunggu kantuk. Di salah-satu akun instagram berisi puisi-puisi Arab kudapati potongan syair Abu Tamam tentang cinta, baitnya membuatku tertegun cukup lama, "bawalah hatimu kemana kau suka, sesungguhnya tak ada cinta melainkan untuk kekasih yang pertama", aku menghela nafas, memoriku seakan berjalan mundur menyusuri kenangan. Kulanjutkan membaca bait selanjutnya, "betapa banyak rumah di bumi ini yang disinggahi pemuda, namun rindunya selalu pada rumah yang pertama", bayangan tentang sebuah fragmen dari mozaik masa lalu menyergap, dan sama seperti dulu, saat mengingatnya jantungku masih berdetak tak keruan. Bedanya, ada sedikit rasa sakit dari luka di sudut hati yang seakan tak kunjung sembuh, telah kurawat dengan hati-hati, kubasuh dengan beragam ramuan dan antiseptik, namun tak ada yang berubah, mungkin infeksinya telah demikian akut, hingga sebaiknya kuamputasi saja. Namun aku enggan hidup tanpa hati, aku enggan hidup tanpa mencintai sekalipun cinta mungkin telah berkali-kali memberi luka dan pedih. Dan puisi itu membawaku pada kisah lama yang lebih banyak terpendam bersama luka yang telah infeksi itu, membusuk dan terkadang menciptakan nyeri, sekalipun hanya sesekali sebab saraf-saraf disekitarnya telah mati, telah kebal dengan rasa sakit darinya. Kisah itu telah lama berlalu, sekitar 8 tahun lalu, ketika obrolan beberapa menit di dunia maya  menyergap dan merubah diriku hingga seperti sekarang,

Tana Toraja, Sabtu, 15 Oktober 2011
Waktu itu aku adalah seorang gadis kecil yang baru sebulan lalu berulang tahun yang kesebelas. Seorang gadis kecil dengan tampang nerd sekalipun tanpa kacamata, pecinta sains dan bahasa, dan terobsesi untuk mengubah dunia. Tergolong tak lazim, namun itulah faktanya, mungkin karena sejak pandai mengeja aksara aku lebih banyak menghabiskan waktu mendengarkan musik barat, dan membaca buku-buku ensiklopedia, tentang  Sains dan penemuan-penemuan penting, tentang Alexander Fleming, Edward Jenner, Pasteur, dan Newton, ataupun tentang tokoh-tokoh berhati mulia seperti Henry Dunant, Mother Theresa, Nelson Mandela dan Mahathma Gandhi. 

Sunyi merengkuh kota kecilku yang jauh dari hiruk-pikuk sabtu malam sebagaimana kota-kota besar menyambut akhir pekan. Seluruh penghuni rumah pun telah beranjak ke peraduan sementara aku masih sibuk browsing menggunakan laptop milik ayah, mencari materi-materi pelajaran untuk persiapan ujian demi ujian yang akan menyapa dalam beberapa bulan ke depan. Ujian-ujian yang kumaksud tak lain adalah ujian-ujian menjelang kelulusan sekolah dasar, kata-kataku memang terkesan agak berlebihan, namun faktanya memang seperti itu, aku mempersiapkan diri menghadapi ujian-ujian akhir itu sejak hari pertama menduduki bangku kelas 6 SD. Masa-masa SD memang masa dimana semangat belajarku demikian tinggi, sayangnya semangat itu menurun seiring kelulusanku ke tingkat yang lebih tinggi.

Malam semakin larut, laptop ayah menunjukkan pukul 10 malam. Aku telah menyimpan file-file pelajaran yang telah kudapatkan malam itu. Mataku masih enggan terpejam, maka kuputuskan untuk membuka akun facebook milikku. Memang terlalu dini bagiku untuk memiliki akun di sosial media itu, namun tak dapat dipungkiri, lewat akun facebook itu kemampuan berbahasa inggrisku meningkat pesat karena kebiasanku chit-chat dengan orang-orang asing dari berbagai belahan dunia.

Aku membuka beberapa pages yang menarik perhatianku, beberapa laman berbau sains, sejarah, dan keislaman. Aku membuka salah-satu laman yang terkesan sangat islami namun menggunakan bahasa yang waktu itu terasa aneh dan sangat asing bagiku. Kulihat postingan demi postingan yang sama-sekali tak kupahami maksudnya, namun memberi rasa penasaran dan memunculkan keisingan dalam otakku. Aku membuka daftar likers dari salah-satu postingan laman tersebut. Aku mengirim permintaan pertemanan nyaris kepada semua akun yang terdapat dalam daftar itu. Aku memperhatikan sekilas foto profil beberapa akun, dari wajah-wajah yang rupawan bagaikan perpaduan eropa dan timur -tengah itu dapat kusimpulkan bahwa mereka jelas bukan orang Indonesia.

Beberapa dari akun-akun asing itu menerima pertemananku. Karena rasa penasaran yang membuncah, aku mengirim pesan kepada salah-satu dari mereka. Namanya Abdullah Baykal.

"Assalamualaykum, brother", ketikku, terkesan sok akrab, namun waktu itu aku sungguh tak peduli. Beberapa menit kemudian muncul balasan.

"Ve aleykumselam , sister", wait ...what? ve? aku mengernyitkan kening, hendak bertanya salam macam apa yang dikatakannya itu namun ku urungkan. Gengsi.

" How are you?", balasku

"I'm fine, and you?", dia membalas dengan cepat.

"I'm fine too", aku hendak bertanya darimana asalnya namun kalah cepat.

"Where are you from?", pesannya muncul setelah aku nyaris menyelesaikan ketikan pertanyaan yang sama.

"I'm from Indonesia, and you?", balasku

"Me? I'm from Turkey", dia membalas disertai emot smile.

Ah, Turki rupanya. Aku belum banyak mengenal negara transkontinental itu. Dengan bertambahnya Abdullah sebagai kenalan di facebook, aku yakin dapat belajar lebih banyak.

" How old are you?", tanyaku

"21, you?", balasnya

"11", jawabku pendek

Abdullah sepertinya sedikit shock dengan umurku.

"Mashaa Allah", balasnya.

Percakapan pun mengalir di antara kami. Abdullah bercerita tentang dirinya bekerja di toko alat elektronik milik pamannya di sebuah kota bernama Gebze, belakangan kuketahui terletak di Provinsi Kocaeli. Dia hidup berdua dengan ibunya, saling memiliki satu sama lain sejak ayahnya meninggal ketika Abdullah masih duduk di sekolah menengah. Setelah lulus SMA hidup terasa semakin sulit bagi Abdullah dan ibunya, hingga mereka memutuskan untuk pindah ke Gebze demi memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebetulnya mereka berasal dari Erzurum, salah-satu kota di Turki yang demikian mesra dengan salju yang berlapis-lapis di musim dingin.  Abdullah yang saat itu berniat berkuliah sastra mengurungkan niatnya untuk belajar di universitas, lantas memilih bekerja untuk menyambung hidup.

Aku takjub mendengar ceritanya. Kubiarkan dia mengetik tentang dirinya sembari membaca satu demi satu postingan di kronologi facebook miliknya. Dipenuhi oleh syair-syair berbahasa Turki, Jerman, Perancis dan Arab yang sekalipun tak begitu kupahami, namun cukup mengindikasikan bahwa Abdullah cukup cerdas secara linguistik. Aku sendiri harus sesekali menggunakan google translate untuk menerjemahkan kalimat demi kalimat yang diketiknya.  Abdullah sepertinya tak terlalu fasih dalam bahasa Inggris. Maka kuputuskan menggunakan bahasa Arab demi berlanjutnya percakapan kami. Nyatanya bahasa Arabku tak cukup untuk chit-chat dengannya. Lantas kucoba menggunakan bahasa Perancis. Ironisnya bahasa Perancis-ku lebih amburadul dibanding bahasa Arab. Abdullah beberapa kali membalas pesanku dengan kalimat, " I don't understand", atau "what do you mean?".  Akhirnya aku menyerah dan meminta maaf atas kemampuan bahasaku yang tak sebagus dirinya. Abdullah sepertinya cukup paham dengan kondisiku.

"Don't force yourself, Allah created us with different cultures and languanges so we can understand and learn from each other", tulisnya di akhiri dengan emotikon smile.

Dan degg.... Entah apa yang terjadi, jantungku berdetak tak karuan  bagai tabuhan rebana santri yang baru saja belajar hadroh. Waktu seolah behenti dan aku merasa bagai terlempar ke dalam ruang sempit yang demikian sesak. Perasaan aneh menyergap diriku selama beberapa detik. Sedikit menakutkan, namun entah mengapa aku bahagia tanpa alasan yang jelas. Percakapan kami malam itu kemudian menjadi salah-satu fragmen paling indah dalam mozaik hidup, hingga saat ini, tak cukup kata demi kata untuk melukiskan secara spesifik kejadiannya. Begitu cepat, menyergap dan merengkuh jiwa begitu saja.

Setelah itu, hari-hariku seolah berubah, menjadi lebih sendu, dan melankolis. Aku akan menghabiskan sebagian besar waktuku menatap laptop, menunggu lelaki Turki itu online dan berdiskusi tentang banyak hal. Aku bahagia, bahagia yang aneh karena tak pernah kudapati bahkan saat diberi hadiah sepuluh tusuk es potong kesukaanku. Jika tak kudapati sosok itu muncul di beranda facebookku, maka aku akan merasakan sesak yang hebat, seolah ada yang telah diambil dariku, lantas waktu berlalu dengan hampa. Hingga sosok itu menyapa kembali dengan salam khas Turki miliknya, disertai emotikon smile.

Berbulan-bulan kemudian, baru-lah kusimpulkan, bahwa aku tengah jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya, pada sosok yang  belum pernah kutemui, belum pernah kutatap secara langsung rupa dan senyumnya, bahkan hanya kukenal sesaat melalui layar laptop. Terkesan naif, dan tidak logis. Akupun sempat tidak percaya, namun bukankah cinta memang selalu berkontradiksi dengan logika?, bahkan Rumi-pun pernah bersyair, "Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya, bagaikan keledai, terbaring dalam lumpur".  Maka tak ada salahnya menyebut rasa yang aneh ini sebagai cinta. Atau apapun namanya, rasa yang aneh itu, terpatri pertama kali untuk seorang Abdullah, dari negeri dua benua yang bahkan belum pernah kupijak sebelumnya

***
-To Be Continue-


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer