Yang Telah Hilang Dari Para Pencari Cahaya.
Jika gelap terangnya suatu ruangan di pengaruhi oleh cahaya, lantas apakah yang mempengaruhi suatu peradaban? Apa yang membuat suatu peradaban kian hidup ataupun redup?. Sama seperti arti penting cahaya bagi ruangan, begitu pula arti ilmu bagi peradaban. Dengan begitu peradaban sangat dipengaruhi oleh para penuntut ilmu, para pencari cahaya. Dengan ilmunya yang bagaikan lentera, sosok-sosok terpilih akan menerangi peradaban yang kian meredup dalam kelamnya zaman.
Kita tengah
terombang-ambing dalam sebuah peradaban dimana
sesuatu berkembang pesat. dengan segala kemajuan yang ada dalam berbagai
aspek kehidupan, maka kebaikan dapat ditebarkan dengan mudah . Namun kemajuan
yang bagaikan dua mata pisau , mampu menebarkan mudhorat lebih mudah dari
kebaikan tadi. Tak banyak yang menyadari,bahwa saat ini kita tengah menghadapi suatu peradaban yang kian gemerlap
dengan lelampu kemaksiatan di setiap sudut-sudutnya, yang siap menerkam
siapapun kita, dimanapun, dan kapanpun tanpa kenal ampun. Peradaban semacam
inikah yang menjadi tujuan kita?. Zaman bisa saja kian benderang dalam
kehidupan duniawi, namun sungguh sulit diemukan lentera untuk menerangi
perjalanan ummat menuju kehidupan ukhrawi.
Kemanakah para pencari cahaya yang diharapkan
akan menuntun dari gemawan kelam maksiat yang kian membelenggu?. Sosok-sosok
yang mengklaim diri mereka sebagai penuntut ilmu, sebagai para pencari cahaya,
tidaklah menghilang. Tidak pula mereka berkurang, bahkan kian bertambah seiring
bergulirnya waktu . Sekolah-sekolah, majelis-majelis, perpustakaan, dan
tempat-tempat dimana ilmu dapat digapai dengan mudah bertebaran dimana-mana, tidak pernah sepi.
Puluhan sampai jutaan orang duduk di dalamnya. Aktivitas mencari ilmu
seolah-oleh dilakukan di berbagai belahan bumi manapun tanpa kenal waktu.
Melihat realita-realita yang ada, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada yang
salah dari para penuntut ilmu, ada yang telah hilang dari mereka. Seakan mereka kian jauh dari cahaya. Apakah yang salah dengan mereka? Apa yang
hilang dari mereka?
Mereka yang membiarkan potongan-potongan
dari mozaik fakta dicerna oleh nurani yang kian memberontak, lantas
menyimpulkannya dengan pemikiran yang
perlahan terbangun dari tidur panjang dalam rengkuhan keburukan, mereka yang
berani berlayar dan menyelami lautan
realitas yang penuh teka-teki akan menemukan fakta bahwa telah begitu banyak
yang sirna dari para pencari cahaya, dan hanya sebagian kecil dari sosok-sosok
itu yang menyadarinya.
Hilangnya
jati diri para pelajar karena penjajahan secara diam-diam dari musuh-musuh
Allah , menjadi faktor utama rusaknya peradaban. Jika dihitung
setiap tahunnya sebagian besar anak-anak usia muda mengalami peralihan
karakter, tak punya semangat juang, jiwa mereka kosong, sering menghayal, tak
punya visi hidup, tak ada gairah sama-sekali.
Dengan berbagai cara perusak-perusak itu menghancurkan kita secara
perlahan, mereka menyuntikkan pola pikir dan budaya mereka kepada setiap
pencari cahaya bahkan sejak mereka masih seumur jagung. Dengan janji-janji
palsu yang bertumpuk yang kian menggiurkan, dibantu dengan segala kecanggihan
teknologi dan sarana-sarana yang ada, mereka dengan leluasa mendoktrin
generasi-generasi penuntut ilmu dengan berbagai macam racun-racun mematikan yang begitu sulit ditemukan
penawarnya. Melalui tayangan-tayangan tidak bermutu di tv, situs-situs kafir di
Internet, hingga buku-buku pelajaran yang menjadi konsumsi pokok para pelajar,
mereka melakukan kejahatan yang sangat rapi, begitu tersembunyi, perlahan tapi
pasti. Kebenaran tertutupi, sejarah dimanipulasi, kesaksian dikebiri. Para
pencari cahaya telah terlatih untuk membenarkan kesalahan, dan menyalahkan
kebenaran, beberapa dari mereka bahkan ada yang telah membenci kebenaran itu sendiri.
Sosok-sosok perusak itu menutupi wajah mereka dengan senyum manis, berpakaian
rapi, modis, dan dianggap ‘classy’ oleh kebanyakan orang, melangkah dan berkoar-koar
tanpa beban, sementara kebohongan demi kebohongan terlontar, dan kebanyakan
dari kita menelannya mentah-mentah, taqlid, seakan akal sehat telah dicuri
tanpa ada kesadaran dalam diri. Celakanya mereka sudah berhasil, dunia ini
telah rusak, dan ironisnya, hanya sebagian kecil dari kita yang menyadarinya.
Hilangnya jati diri menjadi penyebab
hilangnya semangat untuk mempelajari segala-sesuatu yang berbau religius. Doktrin-doktrin pemikiran mereka sukses
mengantarkan masyarakat memasuki gerbang sekurlarisme menuju lorong-lorong
gelap yang kian menyempit hingga begitu sulit mengeluarkan mereka dari
dalamnya. Kecerdasan hanya dinilai dari seberapa lihai seseorang menyelesaikan
rumus-rumus dan hitung-hitungan berbau exact, dinilai dari seberapa fasih
seseorang melafalkan kosa kata bahasa asing, dinilai dari selancar apa
seseorang berargumen dalam forum-forum diskusi duniawi. Ilmu agama dianggap
tidak penting lagi , para orang tua memilih mendaftarkan anak-anaknya ke
sekolah bertaraf internasional ketimbang madrasah-madrasah yang bertaraf
dunia-akhirat. Padahal di zaman sekarang ilmu agama lebih
dibutuhkan manusia dan secara khusus para pelajar dari pada air. Ibaratnya ikan
yg berada ditengah padang pasir.
Hilangnya semangat untuk mempelajari agama
perlahan menghilangkan nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah dalam diri penuntut ilmu.
Al-Quran dan Sunnah, sumber segala ilmu dan sebaik-baik petunjuk telah
ditinggalkan. Padahal cendekiawan-cendikiawan muslim dari masa lampau
mengangungkan Al-Quran sebagai pedoman mereka dalam bereksperimen, menyusun
karya-karyanya dan membawa peradaban ummat manusia, khususnya ummat Islam
menuju masa kejayaan. Banyak dari penuntut ilmu yang tiap hari menenteng
Al-Quran kesana kemari, namun hanya sekedar dibaca tanpa ada sedikitpun niat
untuk menghafalnya, ada pula sekedar menghafal ayat ataupun hadist tanpa peduli
maknanya, ada pula yang menghafalnya, memahami maknanya, namun tidak konsisten
dalam menjalankan ajarannya. Banyak penuntut ilmu yang mengkalim diri mereka
berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Ironisnya, gaya hidup mereka benar-benar
berbanding terbalik dengan apa yang mereka ucapkan.
Hilangnya
nilai-nilai Al-Quran dan As-sunnah menyebabkan para penuntut ilmu kehilangan
etika,moral dan, akhlak-akhlak yang baik. Begitu banyak sosok-sosok ber-IQ
tinggi namun bertingkah seolah-oleh mereka tidak punya otak, biadab, seakan
mereka lebih hina dari hewan. Maka jangan heran jika sosok-sosok yang meraih
predikat cum laude dri universitas-universitas terkenal di negeri antah-
berantah justru kembali dan menghancurkan negeriny. Tidak perlu bertanya-tanya
jika sosok terdidik dan berprestasi justru menghalalkan segala secara untuk
meraih hasrat duniawi, melakukan apa saja untuk mengalahkan siapapun yang
dianggapnya sebagai lawan. Seakan mereka sama-sekali tidak mempunyai kompetensi
untuk bersaing secara sehat. Terbukti, dengan hilangnya moralitas dan
nilai-nilai budi pekerti, maka hilang pula rasa percaya diri untuk
mengembangkan potensi yang ada pada diri seseorang.
Hilangnya
rasa percaya diri untuk menggali potensi yang ada pada diri para penuntut ilmu kemudian memberikan mental pengecut ,pemalas,lagi
individualistik di dalam diri mereka. Mereka enggan membuka mata dan melihat
fakta yang tergambar dengan jelas di depan mata. Sifat pengecut terlihat jelas
dari sosok-sosok pelajar yang kelihatannya berprestasi namun nilai-nilai yang
diraihnya diperoleh dari kertas kecil berisi contekan. Sifat pengecut tergambar
dari rasa sombong, seakan sosoknya selalu lebih di atas orang lain, karenanya
sosok-sosok pengecut tidak ingin di
kritik hingga selalu berusaha menjawab tantangan-tantangan baru untuk
menghindari kesalahan. Para pengecut berusaha menghidar dari realitas yang
pahit untuk dicerna dalam peradaban kita, mereka kian menutup diri, adapula
yang justru terlena dalam rasa manis sesaat dari kepahitan itu. Sifat pengecut menimbulkan rasa enggan dan
malas untuk mengkaji kebenaran yang tersaji, juga sifat individualistik dan
terkesan careless terhadap bobroknya peradaban. Mereka memilih terbawa
gelombang-gelombang zaman yang menenggelamkan mereka dalam kemaksiatan, yang
menidurkan mereka dalam modernisasi palsu dengan teknologi-teknologi yang ada.
Hanya sebagian kecil dari para penuntut ilmu yang berani mengkaji kebenaran,
dan mempunyai sebersit rasa kepedulian terhadap peradaban yang kian gelap tertutup gemawan nafsu duniawi.
Pelajar-pelajar
yang penyakit rabunnya tidak lagi mampu tertolong dengan kacamata, yang telinganya seakan tersumpal oleh
musik-musik tidak bermutu, yang hatinya semakin menjauh dari kebenaran, akan
menghabiskan waktu sejadi-jadinya menikmati arus moderninasi palsu yang ada.
Mereka menjadi user paling update dan paling narsis di media sosial, menjadi
pecandu game dan hiburan-hiburan yang merusak, serta menjadi pengunjung
situs-situs tak bermoral. Waktu dihabiskan hanya untuk meng-update hal-hal
tidak penting, saling sindir, berbagi rayuan palsu, menghibur diri dengan
berupa-rupa kegiatan yang membawa mudhorat. Teknologi yang semestinya digunakan
untuk memperbaiki peradaban justru beralih fungsi menjadi perusak utama.
Mental para
pencari cahaya benar-benar telah rusak. Hanya segelintir dari para penuntut
ilmu yang berusaha terbangun dari pola
pikir penuh kepalsuan yang membelenggu jiwanya , hanya sedikit dari mereka yang
menjadi sosok terpilih, yang benar-benar peduli, berusaha mengumpulkan kembali cahaya-cahaya yang bertebaran untuk dirinya
dan orang-orang di sekitarnya. Mereka membawa bahterah masing-masing mengarungi
samudera realitas dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak tenggelam ke dalam
palung-palung tersembunyi yang tak berdasar. Sosok-sosok itu telah mahfum,
bahwa ummat tengah berada dalam sebuah terowongan panjang nan gelap , setiap
orang seakan dibutakan, namun mereka dapat melihat gemerisik cahaya diujung
terowongan. Wajah sosok-sosok terpilih
mungkin terlihat menua karena rela tidak tidur bermalam-malam memikirkan
jalan-jalan yang dapat ditempuh untuk meraih cahaya yang hakiki. Rambut mereka
berguguran dan memutih lebih cepat dari sosok-sosok seusianya karena beban
pikiran yang dilandasi rasa kepedulian terhadap sesamanya. Mata mereka
mencekung bahkan mengabur karena menyelami milyaran lembar samudera ilmu. Kita
mungkin mendapati mereka berjalan dengan gontai sambil menggeleng-gelengkan
kepala, sementara setiap orang yang menelan kebohongan dari beragam media
menyipitkan mata. Sosok-sosok itu mungkin dianggap gila karena tidak ikut
menyipitkan mata bersama dengan kebanyakan orang. Namun siapapun yang berakal
pasti lebih memilih disebut gila ketimbang menentang kebenaran yang menjadi
pedomannya.
Para penuntut
ilmu hendaknya menginstrospeksi diri dan keadaan-keadaan yang terjadi di depan
matanya , siapapun yang berani menyingkap tabir pembatas antar dirinya dan
realita akan menghadapi fakta-fakta yang mengiris hati. Mereka yang pengecut
akan berbalik lagi dan menutup tabir itu, menyumpal telinganya dan berusaha
untuk kembali tertidur dalam kemaksiatan, sebalikanya, yang berakal dan
menyadari eksistensinya sebagai pencari cahaya akan berusaha menghadapi
kenyataan pahit, mencari solusi dari rusaknya perdaban, dan berusaha menemukan jalan-jalan
kebenaran untuk menggapai cahaya impian yang kelak dibaginya bagi peradaban,
cahaya yang hakiki yang tidak lekang dimakan waktu, terus hidup dalam tiap
pergerakan roda kehidupan.
Kita yang
memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan harapan ummat, yang hendak menjadi
teladan dalam peradaban, yang hendak menemukan cahaya untuk dibagi dan menjadi
warisan bagi ummat pada masa-masa yang akan datang, hendaknya tetap bersatu
untuk mewujudkan tujuan yang sama. Ketika banyak orang yang berlarut-larut dalam
kerinduan terhadap materi, biarlah kita merindu pada pesona intelektualitas
serta semerbak Iman dan Taqwa untuk mewujudkan suatu peradaban agung yang telah
menjadi harapan dari zaman ke zaman.
Written by Fiyah,
30 November 2015
Komentar
Posting Komentar